Catatan Pagi: Tips Mengkomunikasikan Ide dan Menghadapi Orang yang Berbeda Pendapat

 


 

Abis subuhan dan kepikiran sesuatu. Biar nggak sia-sia, mari kita tuangkan.

Kemarin, gue sempet bersentuhan secara virtual dengan dua orang. Keduanya tampak berjuang sekali dengan nilai (value) yang dia yakini. Keduanya tampak mengeluhkan betapa orang sulit menerima value itu. Satu orang saat video call, sisanya lewat akun medsos pribadinya.

Gue lalu mencoba berpikir dari sudut pandang kedua orang ini. Jika gue memiliki nilai yang layak diperjuangkan, apa yang sebaiknya dilakukan? Bagaimana cara menyikapi orang yang berbeda pendapat?

"Petugas arsip" di pikiran gue kemudian datang membawa arsip tentang dakwah. Lebih tepatnya, prinsip dasar dakwah yang gue yakini.

Kamu mungkin ingin membacanya meskipun memilih untuk agnostik, bahkan atheis. 

Oke, mari kita mulai.

tips komunikasi

Prinsip Dasar Dakwah yang Gue Yakini

Sebelumnya, gue harus membuat disclaimer bahwa gue bukan seorang pendakwah. Pandangan di bawah ini murni berdasarkan pengamatan sebagai audiens. Bukan sebagai expert dalam agama yang mendalami berbagai macam ilmu terkait.

Di mata gue, dakwah adalah soal persuasi; apapun konteks agama yang didakwahkan. Ada gagasan rohani yang disampaikan dengan harapan, audiens akan menerima gagasan tersebut. Namun jika dakwah tidak diterima, tidak apa-apa. Sebab, tujuan utamanya adalah menyampaikan.

Dalam berdakwah, cara penyampaian adalah hal kedua yang perlu dicermati. Penting sekali untuk menjaga sikap, termasuk dalam memilih tone dan diksi (pilihan kata yang tepat dan selaras). Tujuannya mungkin agar dakwah itu lebih bisa diterima, meski tidak langsung memberikan dampak pada audiens. Gue tau ini dari hadits tentang etika menyampaikan sesuatu. 

tips komunikasi
 

Gue mendapati kedua hal ini efektif. Kalau ada pendakwah yang menggunakan dua prinsip ini, selain kedamaian hatinya terjaga, dakwahnya biasanya akan sampai dengan aman sentosa di hati audiensnya.

Mengkomunikasikan Ide yang Kita Yakini

Nah, dua prinsip di atas sebenarnya bisa dipakai dalam konteks di luar agama. Saat kita memiliki ide (dan kegelisahan) serta ingin membaginya pada orang lain, penting sekali untuk tidak berharap dan melakukan dengan empati.

Kita samakan persepsi dulu, ya. Empati adalah sebuah kondisi mental yang membuat seseorang merasa dirinya ada dalam perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Dalam mengkomunikasikan ide, kita seringkali berharap bahwa ide tersebut akan diterima oleh audiens. Lebih dari itu, kita juga berharap mereka meyakini ide yang sama.

...dan hal inilah yang berbahaya. Berharap pada manusia.

Begitu harapan tidak tercapai, kekecewaan yang sampai. Kita kecewa karena ide kita tidak diterima. Kita kecewa karena orang tidak meyakini hal yang sama. Padahal, cara terbaik untuk meyakinkan seseorang adalah dengan tidak berusaha meyakinkannya.

Kekecewaan lalu terwujud menjadi nyinyir. Kita melampiaskan rasa kecewa dengan nyinyir di media sosial. Kita nyinyir tentang orang-orang yang tak menerima/meyakini gagasan kita; meluapkan rasa kesal. Diksi yang digunakan pun jauh dari empati.

Efeknya tidak berhenti sampai di situ. 

Orang-orang yang tadinya bersikap netral kini berubah antipati terhadap gagasan/kegelisahan yang kita bawa. Mengkomunikasikan ide/kegelisahan pun jadi dua kali lebih berat. Kita tidak menyadari hal ini. Kita semakin frustrasi. Kita memanen lebih banyak haters.

Bagaimana jika kita tidak berharap?
Susah, dong! Namanya meyakinkan orang lain ya mesti berharap!
Bagaimana jika kita tidak berharap pada manusia, tetapi pada Tuhan?
Hmm, boleh juga.

Manusiawi banget berharap pada sesuatu. Tapi tentu akan lebih aman kalo kita berharap pada kekuatan yang supreme ketimbang manusia

Dengan berharap pada Tuhan, kita meyakinkan manusia dengan tidak berusaha meyakinkannya. Masalah kedua, penggunaan tone dan diksi, pun bisa teratasi. Kita kini melampaui dua pulau sekali dayung.

Sampai sini, ada dua poin yang bisa kita ingat.

Points to remember:

1. Jangan berekspektasi pada manusia, kecuali pada Tuhan
2. Perhatikan tone dan diksi agar ide sampai ke audiens (obyek komunikasi)

Sederhana banget, ya?

Masalahnya kini tinggal bagaimana kita membiasakan diri untuk berharap pada Tuhan. Atau lebih tepatnya, latihan menyadarkan diri untuk berharap pada Tuhan. Mungkin tidak bisa langsung berhasil sekali coba, tetapi akan semakin mahir seiring berjalannya waktu. 

Also, please never take things personally. Saat respons seseorang terasa menyerang, pahami siapa dia dan kenapa dia melakukan hal itu. Pahami sudut pandangnya. Semakin dalam pemahaman dan kesadaranmu akan konteks, semakin santai kamu dalam menyikapi penolakan.

Mari komunikasikan ide dengan lebih baik. Mari lebih tangguh dalam menyikapi penolakan dan perbedaan pendapat. Karena apa yang dari hati akan sampai ke hati. Karena secangkir teh yang kamu minum layak diteguk dengan lebih nikmat.

Gitu aja.
Semoga membantu.

Comments

Popular Posts