Mitos Bos Baik dan Kepemimpinan dalam Bisnis



Bisnis adalah topik yang seksi dan kita tahu bahwa kepemimpinan dalam bisnis adalah sesuatu yang seringkali diposisikan sebagai fantasi yang indah. Hal yang lebih dari sekedar menyenangkan, meskipun baru dibayangkan dalam angan-angan.

Coba tanyakan teman-teman yang belum menjalani bisnis atau yang sudah menjalani, tetapi baru ada di tahap awal; seperti apa wujud bos yang ada di dalam pikiran mereka?

Suka nyuruh?
Pelit?
Duitnya banyak?
Ngopi sambil mainan hape mulu?
Ngobrol asyik sama orang lain di telepon, sementara pegawainya kerja keras?
Lanjut main hape lagi sambil ngopi?




Nggak masalah untuk punya asumsi semacam itu. Imaji tentang atasan yang serba nyaman dan digdaya memang sudah terbentuk sejak kecil, sejak kita ikut orangtua nonton sinetron yang menampilkan bos sebagai sosok orang paling beruntung di dunia dan satu-satunya hal yang mereka kerjakan adalah mengurus persoalan asmara (mulai dari naksir sekretaris sendiri sampai nyuruh detektif buat mata-matain istrinya sendiri, beberapa variasi skenario menyuguhkan plot "ngurus rumah tangga orang lain" sebagai bagian dari jobdesc si bos).

Setelah lulus sekolah/kuliah dan memutuskan untuk kerja kantoran, imaji itu boleh jadi semakin kuat begitu kita melihat atasan kita (yang sebenarnya bukan pemilik usaha) punya tingkah laku yang sebelas-dua belas dengan yang kita lihat di layar kaca. That luckiest-guy-on-earth type.

Gue juga punya pandangan semacam ini.

Gue adalah orang yang tidak jauh berbeda dengan kalian; tumbuh dari budaya populer layar kaca, kerja pada orang begitu lulus kuliah, melihat bos sebagai sosok yang bossy di kantor. 

Ada beberapa momen ketika gue merasa sedang melakukan sesuatu yang nggak biasa, bahkan cenderung mustahil, tapi harus dilakukan. Ada masa-masa ketika gue harus bekerja dengan mendengarkan lagu daerah yang disetel keras sekaligus suaranya yang jauh dari kata bagus. Itikad baik untuk bekerja dengan giat hari itu menghadapi cobaan berupa bos yang begitu happy bernyanyi. Sayangnya, cuma dia yang happy

Kadang selepas jam kantor, gue menyempatkan diri untuk ngobrol dengan rekan-rekan kerja sambil menunggu kemacetan lalu lintas berkurang. Di sana, baru tahu juga dari pengalaman teman bahwa bosnya pernah nonton bokep di kantor dengan suara yang keras dari laptopnya. Aku terkejoed.

Tanpa bermaksud menyamaratakan, boleh jadi kita memang orang yang sama.

Lalu, apakah "bos baik" cuma mitos atau sosoknya benar-benar ada? Kalau kita ada di posisi atas (atau setidaknya ada di bagian middle management), seperti apa sosok yang baiknya kita tampilkan?

Dari lulus kuliah sampai beberapa tahun bekerja, gue terus mempertanyakan hal di atas. Kadang, pertanyaan itu muncul di sudut toilet. Lain waktu, dia hadir dalam perjalanan menuju ke dan pulang dari kantor...

...sampai suatu ketika, bisnis yang dijalankan kantor gue tidak berjalan dengan baik. Petualangan karier gue di situ akhirnya menyentuh garis finish. Selesai.




Setelah masa rehat, ada babak baru yang harus dimulai. Gue mengetuk pintu rezeki yang baru, meminta izin Allah untuk masuk. Ternyata, pintu itu adalah pintu wirausaha.

Gue memulai usaha itu sebagai seorang freelancer. Dengan diiringi doa dari orang-orang terdekat, gue menjadi bos sekaligus karyawan bagi usaha itu sendiri.

Pelan-pelan, usaha itu mulai ramai. Perjuangan gue nggak sepi; ada banyak orang yang datang satu per satu. Beberapa balik kanan, memang, tetapi Allah kasih gue pengganti yang lebih baik.

Pada suatu titik, gue bertanya pada diri sendiri, mungkinkah tim gue sekarang berpikir dengan cara yang sama sebagaimana gue pada bos yang dulu? Apa gue termasuk pemimpin yang bossy?

Seperti apa sebenarnya kepemimpinan ideal dalam dunia bisnis? Apakah yang sifatnya ikut bekerja dengan beban yang sama lalu mendapatkan hasil yang sama? Apakah yang tetap harus berada di menara gading kepemimpinan seraya memikirkan masa depan usaha berikut menentukan arah dan momentum terbaik untuk berkembang? 

Sebagai pemimpin yang pernah memosisikan diri pada sisi karyawan, gue sempat berpikir bahwa ikut bekerja dengan beban yang sama adalah hal yang harus dilakukan. Tetapi ini bukannya tanpa kelemahan. Pertama, kita tidak akan pernah bekerja dengan beban yang sama; sehabis menuntaskan beban kerja yang sama dengan karyawan, kamu masih harus memikirkan hal-hal lain seperti perhitungan gaji (yang kalau salah bisa mengakibatkan penurunan semangat kerja dan rasa hormat), mendengarkan uneg-uneg karyawan, dan menyelesaikan kesemrawutan yang sifatnya teknis. Kedua, kamu tidak akan pernah bisa memberikan input untuk mengembangkan mereka & mengembangkan bisnis karena waktumu habis untuk pekerjaan harian itu sendiri.

Salah seorang mentor kemudian memberikan saran untuk meninggalkan kerja harian; fokus memikirkan masa depan usaha dan merapikan kesemrawutan teknis. Jujur, hidup jadi lebih mudah setelah ini. Fokus terasah. Kesemrawutan satu demi satu terurai. Tapi kita mengabaikan aspek kesejahteraan batin karyawan. Kita tahu bahwa sebagian orang tidak bisa menjawab lugas ketika ditanyakan perihal uneg-uneg pekerjaan, apalagi jika orang yang menanyakan adalah atasan sendiri. Kalau situasi itu terus berlanjut, tinggal tunggu waktunya dia meninggalkan kita.

Suatu pagi, gue menyempatkan diri untuk "kuliah" dari sebuah buku biografi seorang pebisnis yang dari sampulnya cukup tidak menarik, hehehe. Gue waktu itu sampai di bahasan tentang struktur organisasi yang mengarah pada kepemimpinan dalam bisnis.

Melalui buku itu, dia bilang bahwa ketika sudah memiliki pegawai, jiwa leadership kita akan lebih dituntut lagi. Saran dari dia, "Untuk bisnis yang baru Anda jalankan, jangan pernah membayangkan seorang pemimpin yang duduk nyaman dan tinggal perintah."

Menarik?
Mari kita baca kutipannya.

"Sebagai pemilik usaha, kita perlu bergelut terlebih dulu ke dalam proses produksi dari lini yang paling bawah. Dengan demikian, kita terlatih untuk mengenali setiap fase dalam bisnis yang kita jalankan.

Beberapa bisnis franchise sangat menganggap penting pengalaman si calon pemilik bisnis. Sebuah franchise produk junkfood bahkan memberlakukan ketentuan, si calon pemilik franchise harus mengikuti training di perusahan induk terlebih dulu. Tidak jarang training ini berupa "bekerja layaknya pegawai". Tujuannya, calon pemilik franchise bisa menjadi seorang bos yang mumpuni, tahu betul seluk-beluk usaha yang dia jalankan. Seorang pemimpin yang mengenali asam garam pahit-getir bisnisnya akan lebih mudah mengatasi masalah dan mencari jalan keluar setiap kali terbentur problem.

Banyak calon pebisnis yang melakukan kesalahan sangat fatal dalam memulai langkah, yakni mendelegasikan tugas-tugas yang tidak dia kenali pada orang lain. Ini adalah awal yang mencelakakan. Sesulit apa pun jenis pekerjaan itu, sebaiknya seorang pemilik bisnis juga menguasai hal tersebut. Itu sebabnya kenapa sebuah bisnis yang diawali langsung oleh hasil kerja sang pemilik cenderung akan bertahan lama setelah dilanjutkan pegawai-pegawainya. Jawabannya mudah saja, karena dia menguasai segala bidang dalam usahanya, dia bisa mengendalikan segala segmen dalam bisnisnya.

Jika Anda sudah cukup menguasai segala lini dalam bisnis Anda dan siap mendelegasikan pekerjaan kepada bawahan, selalu diingat bahwa karyawan Anda akan mengambil contoh dari cetakan teladan Anda. Berusahalah menjadi pemimpin yang memiliki kombinasi antara jiwa leadership dan managerial."

Eddy Sutrisno mengajarkan gue hal ini. Singkatnya, kerjakan dengan tangan sendiri sampai bidang itu kita kuasai hingga ke seluk beluknya, baru boleh delegasikan pekerjaan ke orang lain.

Apa yang Eddy bilang bisa jadi benar, bisa jadi klise. Tapi melihat lika-liku jalan hidupnya dahulu serta reputasi bisnis yang berhasil diraihnya, bisa jadi masukan yang sifatnya teknis ini benar adanya. Boleh jadi, bos baik bukanlah mitos.

Gue mencoba menerapkan usulan di atas. Ternyata, jiwa manajerial juga penting untuk melengkapi kepemimpinan itu sendiri. Justru itulah yang menentukan seberapa besar rasa hormat tim kepada bosnya. Gue dulu rupanya sempat hilang respek kepada bebarapa orang bos karena kurangnya sisi manajerial dalam kepemimpinan mereka. Apakah karena sebenarnya mereka juga kurang menguasai dan kurang mau untuk belajar menguasai? Bisa jadi.

Ketika segala sesuatunya sudah kita kuasai, apakah kita boleh mendelegasikan pekerjaan sepenuhnya kepada mereka?

Mungkin iya, tapi nggak selamanya. Ini pendapat gue.

Ketika pekerjaan sudah didelegasikan, penting juga untuk turun langsung sesekali demi melihat, apakah ada sesuatu yang sebenarnya bisa dikembangkan agar lebih baik? Atau ada kekurangan yang perlu diubah agar performa tim lebih efisien. Kita tahu bahwa semua hal berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Wah, ribet juga ya?

Well, running a business is d*mn hard, but we actually still able to enjoy the moment. Bukankah akan selalu ada tenang di sela-sela gelisah yang menunggu reda?

Sebagai penutup, ada kutipan menarik yang meneguhkan hati dari Eddy Sutrisno buat kita.

"Kesuksesan bisnis sangat ditentukan oleh bagaimana cara kita mengatasi situasi sulit, bukan sebaliknya."

Semoga bermanfaat.


Comments

Post a Comment

Popular Posts