Big Picture vs Detail

Setiap orang punya cara pandang dan berpikir masing-masing. Ada yang fokus ke big picture, ada yang memegang teguh kredo the devil is in the detail dalam genggamannya.
Mana yang benar?
Mana yang salah?

Sebagai orang yang mengutamakan detail pada segala sesuatu yang dikerjakan. Saya sempat berpikir, ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Saya juga suka menyindir orang yang hanya melihat big picture tanpa mau tahu detailnya. Nyatanya, saya seringkali hilang arah.

Berita teknologi kini tidak jauh dari kehebohan Samsung S9 dan teknologi kameranya yang mendefinisikan kembali persaingan kamera smartphone. Kala sebagian fokus pada kamera selfie dan sebagian menonjolkan fitur pada kamera ganda, Samsung memilih untuk memperkenalkan fitur slow motion (Slo-mo).

Saya tidak peduli-peduli amat, sebenarnya. Bagi saya, yang membuat fitur kamera handphone tampak seksi adalah kemampuannya untuk berfokus pada satu titik tanpa kehilangan keseluruhan gambar. Depth of field. Dan itu sudah cukup.

Ini kemudian memberi jawaban pada perdebatan Big Picture vs Detail di kepala saya.

If you can have both of them, why choose one?

Kamu mendapatkan nilai estetika dari suatu gambar, tetapi juga tidak kehilangan garis besarnya. Fotomu jadi punya cerita, bisa diuraikan dalam berparagraf-paragraf kata.

Saya jadi belajar dari hal semacam ini. Saya (tetap) tidak kagum kepada orang yang hanya peduli garis besar. Saya (menjadi) tidak kagum dengan orang yang hanya mau tahu urusan detail, termasuk diri sendiri. Baru tersadar juga bahwa beberapa bos di kantor sebenarnya telah mengajarkan ini melalui "kata pepatah" mereka.

"Gue orangnya result-oriented, tapi gue membebaskan kalian untuk bekerja dengan cara masing-masing. Proses kreatif setiap orang berbeda."

"Inget, Bro. Kaku dalam visi, fleksibel dalam metode."

Kemampuan zoom in-zoom out ini dalam dunia penulisan teraplikasikan dengan cara membuat sinopsis hingga titik akhirnya, lalu fokus ke detail cerita. Menulis adalah pekerjaan detail. Pemilihan diksi menjadi sesuatu yang penting.

Sayangnya, banyak karya tidak selesai karena para penulis lupa menentukan ending. Titik akhir. Padahal, menentukan ending itu penting karena mampu menolong penulis kembali ke jalan yang benar kala terlalu asyik bergulat dalam detail. Sesekali zoom in, sesekali zoom out.

Jadi ini yang coba saya budayakan sekarang. Buat dulu garis besarnya, lalu pegang teguh sambil berasyik masyuk dalam detail.


Semalam, ada dua orang wanita yang saya dengarkan ceritanya. Secara kebetulan, pembicaraan kami memantik pertanyaan itu. Saya lantas bertanya pada mereka,

"What is your purpose? Mau jadi apa nantinya? Mau kayak gimana?"


Pertanyaan yang sama kini saya ajukan pada Anda.



Comments

Post a Comment

Popular Posts