Sepucuk Cinta dari Seorang Lelaki Cerewet
theodysseyonline.com
Wahai kamu,
aku baru saja menancapkan sebatang
rokok yang baru dua-tiga kali kuhisap, semata-mata untuk menegaskan bahwa
detik-detikku di sini sangat membosankan, jauh lebih membosankan daripada harus
menulis kalimat “Saya berjanji akan mencatat lebih cepat” yang dahulu ditulis
berulang-ulang sebagai hukuman karena terlalu asyik mengobrol denganmu. Kamu
tahu bahwa waktu adalah makhluk yang dengki. Sekali kita mengobrol, dia
diam-diam akan berlari cepat dan membuat kita disetrap.
Wahai kamu,
belasan tahun berlalu sejak
peristiwa itu. Namun, keasyikan mengobrol dengamu tidak juga ada habisnya.
Waktu jelas tidak akan pernah berubah, tetap dengki seperti biasanya. Iya,
waktu masih juga dengki kepadaku yang selalu saja memiliki cara untuk mengobrol
tanpa pernah kehabisan cerita untuk dibagi denganmu. Akhirnya, satu-satunya hal
yang bisa ia lakukan adalah memangkas durasi pertemuan kita. Waktu jelas tidak
pernah berubah, pencemburu seperti biasanya.
Wahai kamu,
aku sepenuhnya sadar tentang
kedengkian waktu atas kedekatan kita. Ketika tidak ada kamu, waktu bilang bahwa
aku adalah laki-laki egois; mendominasi pembicaraan dengan ribuan, bahkan
jutaan, kata yang kusembur padamu tanpa lelah. Padahal, kamu juga berbicara
padaku, melalui tatap yang teduh, lirik yang sesekali jahil, kernyitan protes
di dahi, senyum yang perlahan tersungging, hingga tawa lepas yang menampilkan barisan
gigi putih nan tersusun rapi. Sekali aku mencoba untuk berhenti, kamu marah.
Katamu, hobimu adalah mendengarkan aku berbicara. Katamu pula, suaraku merdu,
semerdu cuitan burung-burung peliharaan bapakmu. Aku protes. Kamu lalu tertawa
sambil mencubit pipi kananku. Aku menerima cubitan itu dengan senang hati,
terutama karena sebelumnya kamu tampak murung dan begitu tertutup pada orang
lain, termasuk pada waktu yang sempat meniru gayaku demi mendapatkan kamu namun
gagal sehingga mencela gayaku sebagai bentuk egoisme.
Wahai kamu,
demi menenangkan waktu yang kian
lama kian gusar, aku akhirnya menuruti aspirasinya untuk menjadi manusia
pendengar. Namun, aku juga tidak mau mengacaukan hobimu. Karenanya, aku
biasakan diriku berkicau terlebih dahulu, lalu melemparkan tanda tanya yang
begitu kamu menangkapnya, rangkaian kata-kata akan keluar dengan sendirinya
dari bibir mungil itu. Iya, aku menemukannya ketika sedang jalan-jalan di
tempat yang sebaiknya tidak kamu ketahui. Kurasa, tanda tanya ini akan
membantumu sehingga aku ambil dan simpan dalam saku celana. Benar. Tanda tanya
ini memang ajaib. Hari demi hari, rangkaian kata yang keluar dari mulutmu semakin
banyak. Kamu terlihat lebih bebas dalam mengekspresikan apapun yang hari ini
kamu jumpai lewat kata; nenekmu yang setiap hari bertanya siapa namamu, pakdemu
yang hobi jalan-jalan, juga ibumu yang beberapa kali memaksa burung-burung
peliharaan suaminya untuk mencoba resep baru yang hari itu ia ciptakan.
Wahai kamu,
setelah perdebatan panjang dan melelahkan,
waktu akhirnya mengizinkan kita berdua. Aku menemuinya saat kamu lelap dalam
tidur, dilenakan oleh nyanyian purnama yang beberapa hari sebelumnya kumohon
dengan sungguh untuk bersekongkol hingga pertemuanku dengan waktu terjadi tanpa
harus membuatmu cemas. Tidak, aku tidak berkelahi dengan waktu. Aku berbicara
padanya baik-baik. Kepadanya, aku minta ia ikhlas membiarkan kita bersatu,
lebur dalam cinta yang menjadi kata-kata kegemaran para musikus. Dia setuju!
Ah, kamu tidak tahu betapa kali ini tidak ada satu kata pun yang berwenang
mewakili kegembiraanku. Kamu ingat senyumnya yang agak dipaksakan dalam pesta
pernikahan kita? Iya, itu dia buat dengan susah payah. Aku kesulitan berhenti
mengucap terima kasih atas upayanya tersenyum kala itu.
Waktu memang jadi jauh lebih
bersahabat sejak itu, meski tetap saja ia jomblo. Kita selalu dengan ramah
menyambut kedatangannya. Oh, kamu juga tak pernah lupa menyajikan biskuit
kesukaannya, bukan? Lengkap dengan secangkir teh hangat tempat ia mencelup biskuit,
sebelum dengan sok imut, memakannya. Waktu juga yang menjadi paman
sekaligus teman bermain anak-anak kita. Kita menganggapnya bagian dari
keluarga, bekerjasama dengannya dalam setiap perencanaan keuangan.
Namun, sayangku,
waktu bekerja untuk Tuhan. Dia
harus patuh pada Tuhannya. Dalam kunjungan terakhirnya, saat kamu sedang sibuk
membuat teh dan menyiapkan sepiring biskuit, terjadilah pembicaraan serius itu.
Katanya, dia tidak bisa lagi membantuku. Tuhan memintaku kembali dengan
mengutus ajal ke dunia. Waktu bilang, ajal akan menemaniku bertemu Tuhan.
Sementara itu, waktu akan menemanimu mengasuh anak-anak hingga akhirnya ajal
kembali untuk menjemputmu. Saranku, tetaplah berkawan dengan waktu. Ajarkan
anak-anak kita hal yang sama demi kebaikan mereka.
Wahai kamu, wanita termanis yang
pernah ada,
aku sudah melihat siluet ajal dan
waktu dari kejauhan. Karenanya, kucukupkan baris kataku sampai di sini. Mohon
maaf tak bisa berpamitan langsung. Kamu tahu aku tidak pernah tahan melihat
tetes-tetes air mata itu.
Bersama surat ini, aku selipkan
pula sisa peluk dan cium yang kupunya untukmu. Semoga cukup untuk menemanimu
membesarkan anak-anak. Bila memang tidak, mintalah pada Tuhan untuk mengirimkan
gantinya. Ah, bukankah Tuhan Maha Memberi?
Dari tempat tersepi di dunia,
Lelakimu yang Cerewet
tensi gue drop bacanya :(
ReplyDeleteHehehe, thank you for coming, Lady! :D
DeleteSpeechless menn
ReplyDeleteHahaha tengkyu broo udah baca :D
Deletewah keren sekali kak
ReplyDeleteaplikasi wathsapp