Kreativitas dan Konfrontasi sebagai Proses Kreatif Saini K.M.



theodysseyonline.com


Ketika menghadiri seminar penulisan, biasanya di lingkungan kampus, saya seringkali dilempar pertanyaan seperti ini.

“Bagaimana, sih, cara mendapatkan ide menulis?”

Jujur, ini adalah pertanyaan yang membuat saya gelagepan; bukan karena terlalu banyak jawaban yang berseliweran di benak saya, melainkan justru karena tidak ada sama sekali jawaban yang dapat saya berikan saat itu. Bagaimanapun, karier menulis saya diawali sebagai penulis diary pada sebuah blog yang beruntung. Setidaknya, saya punya dua keberuntungan saat itu; beruntung blog saya dibaca banyak orang, beruntung ada seorang senior di sekolah yang mengirimkan kumpulan tulisan saya di blog ke penerbit lalu tulisan tersebut diterima. Sesederhana itu.

Setelah (pura-pura) berpikir di depan ruang, saya akhirnya memberikan jawaban padanya. Saat itu, saya katakan bahwa kreativitas berupa ide menulis bisa didapatkan dengan berbagai cara. Kita hanya perlu membuka lebar-lebar mata dan telinga kita terhadap situasi sekitar. Dengan cara itu, kreativitas berupa ide menulis didapat.

Saya tidak tahu bila ada jawaban yang lebih baik saat itu. Yang jelas, itu jawaban terbaik yang bisa saya berikan. Jawaban lain? Tentu ada. Seharusnya ada.

Saya kemudian membuka diri terhadap ‘makanan’ bernama kreativitas tersebut. Saya mengikuti kuliah sosiologi ekonomi yang memberikan pemahaman tentang ekonomi kreatif, meskipun itu bukan fokus studi saya ketika kuliah.

Kemudian, datanglah ‘wahyu’ itu. Ketika sedang suntuk, saya membuka-buka halaman buku berjudul “Proses Kreatif” yang disunting oleh Pamusuk Erneste. Dalam buku tersebut, ada bab berjudul Kreativitas Sebagai Konfrontasi. Saini K.M. adalah penulisnya.

Pada tulisan itu, Saini K.M. menuliskan latar belakang keluarga dan lingkungannya alias faktor-faktor pendukung yang melatari pembentukan nilai-nilai seorang individu, dalam hal ini adalah dirinya sebagai seorang sastrawan.


Ada pemikir yang mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bermimpi. Artinya, dengan kesadarannya ia dapat menangkap das Sein dan das Sollen, yang nyata dan yang seharusnya. Itu berarti pula bahwa ia menangkap kesenjangan antara dua dunia, dunia kenyataan dan dunia impian, dunia real dan dunia ideal.


Saini K.M. juga mengutip Albert Camus yang mengatakan bahwa seniman tak dapat berlapang dada di dalam menghadapi dan menerima kenyataan. Das Sein bagi Camus adalah kekacauan atau chaos. Kekacauan ini melukai seniman, baik pada taraf etik maupun metafisik. Karenanya, seorang sastrawan mengajukan protes sosial.

Saini K.M. kemudian memberikan contoh protes sosial dalam kumpulan sajak pada bagian kedua buku Nyanyian Tanah Air (Mimbar Demokrasi Press, Bandung, 1968).


L’enfant Terrible

Akan jatuh hari lahirnya
bayi perawan yang diperkosa
menggemakan teriak kering
dalam gubuk di dunia-bawah.
Akan bernyala fajar zamannya
anak yang menghambur dari rahim waktu
dan dari perut segala kota
yang berurat kali-kali hitam.
Akan berseru bibir-bibir perunggu
dan jarum menunjuk angka
bagi dia yang dibesarkan lapar
dingin dan duka.

Akan tiba saat dia bertanya:
“Kalau nasib ditentukan bintang
bukankah kami dinasibkan menentang?”
Anak bungsu abad yang tua renta
akan bicara pada dunia
dengan lidah-lidah api
dengan mulut-mulut besi
dan ibu-bapak yang ketakutan
tahu pedihnya air garam
di kelopak mata cekung.

Bayi orang-orang malang
yang dijual dan diperkuda
sekali akan minta dimandikan
dengan darah dan airmata
akan tulis pada nina bobo
dan kata besar yang hampa
dan bersama segala arwah

yang tak menemukan tempat
selain dalam impian buruk
akan mengacungkan tinju ke angkasa
menantang masa silam dan hari di muka
sementara bumi gempa gemetar
bawah deru derap langkahnya.
                                                1961


Bagi saya, Saini K.M. memberikan pelajaran mengenai konfrontasi sebagai salah satu jalan kreativitas. Kesenjangan yang berada antara das Sein dan das Sollen ini (selain membuahkan kegelisahan) juga dapat menjadi inspirasi bagi penulis dalam menghasilkan sebuah karya.
Entah turut terinspirasi Saini K.M. atau tidak, Raditya Dika sepertinya memiliki gagasan yang relatif serupa. Pada suatu pelatihan menulis, ia pernah menyebutkan bahwa ide menulis bisa diawali dari sebuah kegelisahan.

Saya sendiri turut menikmati gagasan ini. Konfrontasi berupa berita negatif tentang Pokemon GO dengan persepsi positif permainan tersebut sebagai bagian indah dari kepingan masa lalu membuat saya gelisah, lantas menghasilkan beberapa tulisan tentang Pokemon GO di blog pribadi saya.

Gagasan konfrontasi antara das Sein dan das Sollen kemudian meluas, melewati batas dunia tulis-menulis. Stand up comedian pun kerap menggunakan konfrontasi antara das Sein dan das Sollen sebagai materi stand up comedy yang akan ia bawakan, mulai dari bahasan pergaulan anak SMA yang relatif absurd hingga pada bahasan yang lebih berbobot semacam dunia politik.

Pada akhirnya, kreativitas ada di mana-mana. Kreativitas mewujud dalam berbagai hal. Kita adalah orang yang menangkapnya, lalu mengolahnya menjadi berbagai macam karya; puisi dengan bait berisi, materi stand up comedy yang tajam sekaligus menggelitik, atau bahkan mural yang bernilai seni tinggi.

Jadi, konfrontasi apa yang membuatmu ingin menulis hari ini?

Comments

Post a Comment

Popular Posts