Rasionalitas pada Usia 25
Rasionalitas via bigthink.com
Suatu hari pada tahun
2015, gue pernah mendengar kutipan yang kurang lebih bunyinya begini.
“Pada usia 25, kamu akan menyadari bahwa lebih dibutuhkan lebih dari sekedar cinta untuk membangun rumah tangga.”
Gue agak lupa, sih, gimana
kalimat persisnya. Yang jelas, dibutuhkan rasionalitas untuk membangun rumah tangga. Cinta
aja nggak cukup, bahkan cenderung jadi bahan tertawaan.
“Lu mau kasih makan anak-istri pakai cinta?”“Makan tuh, cinta! Hahaha…!”
Kira-kira begitulah
suara-suara skeptis di luar sana.
Gue seringkali merasa kasihan
dengan orang-orang yang menganggap dirinya rasional. Bagi gue, orang-orang yang
menganggap dirinya rasional bisa berarti tiga hal;
- mereka memang benar-benar rasional,
- mereka sedang melakukan branding terhadap diri sendiri sebagai orang yang rasional, padahal aslinya mah kagak; dan
- mereka secara tidak sadar menjadikannya perisai untuk bertahan. Denial.
Pada 2015, gue melihat
orang-orang tidak lagi terlalu keras kepala dengan mimpi-mimpi mereka, baik
dalam karier maupun percintaan. Sesuatu yang dulu mereka upayakan, sekarang
ditinggalkan. Alasannya banyak sih. Situasilah, umurlah, pokoknya banyak.
Dalam dunia percintaan, gue
dulu punya beberapa orang teman di kampus. Mereka adalah pasangan-pasangan yang
menjalin hubungan selama bertahun-tahun. Sayangnya, sebagian dari hubungan itu sekarang
udah putus. Lebih dari satu di antara mereka kemudian menikah dengan orang yang
baru setahun mereka temui.
Ada juga orang yang
dulunya bercita-cita menjadi menteri. Ia mengikuti seleksi CPNS dua kali.
Dua-duanya gagal. Ia kemudian banting setir menjadi bankir. Gue kira, itu hanya
pekerjaannya sementara untuk tetap mencoba lagi di tahun-tahun berikutnya. Nyatanya,
nggak juga. Kayaknya, dia emang udah menyerah.
***
Rasionalitas kadang
jadi alasan untuk ‘menegosiasikan’ mimpi dan visi mereka. Ada yang menunda timing,
seperti tanggal pernikahan atau tanggal buka usaha. Ada juga yang bener-bener
menyerah mengejar mimpinya.
Padahal, rasionalitas
bisa jadi adalah keputusasaan yang menyamar. Mereka yang putus asa mencoba menutupinya
dengan cara menjadi rasional. Mereka menganggap tujuan mereka ‘ketinggian’.
Mereka menganggap adalah tabu untuk membicarakan sebuah mimpi, seakan-akan
mimpi cuma monopoli ABG yang pipisnya aja belum lurus.
Yah, pipis gue juga
belum lurus sampai sekarang, sih. Kan pengaruh gravitasi, yak?
Ini kenapa jadi
ngomongin pipis?
Salah satu dedengkot
Starbucks, Howard Behar, pernah bilang begini dalam bukunya.
“Goals are emotional. If a goal is not working for you, you’re not connected to it. Raise it, make it meaningful, make it touch something in you that you want. Or take it off your list.”
Barangkali, penyebab
resolusi tahun baru sering gagal adalah karena goal yang kita set nggak
cukup emosional. Dalam artian, kita nggak cukup keras kepala buat menjalankannya.
Jadilah umur resolusi tahun baru kita nggak jauh dari tiga hari.
***
Gue cuma mau bilang, we
are never too old to make a dream, even dreams! Syaratnya itu tadi, harus
emosional. Usia 25 (ke atas) justru membuat kemungkinan meraih mimpi menjadi
semakin nyata. Ini sih berdasarkan pengalaman hidup gue dan pengamatan sosial
yang gue lakukan aja, ya.
Pada usia 25 (ke atas),
kita akan menjadi lebih rasional. Iya, gue setuju. Tapi menurut gue, rasionalitas
itu bukan penghalang atau bahkan harus dibenturkan dengan mimpi-mimpi yang dulu
sudah dibuat.
Rasionalitas hadir
untuk menakar, seberapa jauh/dekat jarak kamu dengan mimpi yang kamu punya.
Rasionalitas hadir
untuk melihat, langkah-langkah apa saja yang bisa kamu lakukan untuk bisa lebih
dekat dengan mimpi yang dahulu kamu punya dan yakini.
Gue mengerti, kerja
itu capek. Capek di kantor, capek di perjalanan pulang-pergi. Tapi gue juga
mengajak diri sendiri dan teman-teman untuk tetap waras, merawat akal sehat
sekaligus mimpi yang dulu pernah dibuat.
Dengan bersikap
rasional, kita nggak perlu pusing menjawab pertanyaan ‘Kapan nikah?’ yang biasa
diajukan teman-teman sekantor.
Dengan bersikap rasional,
kita bisa mengukur diri dan mendekat pada mimpi yang telah dibuat.
Karena goal itu
harus emosional…
Karena bila tidak
emosional, tidak akan cukup worthy untuk dikejar...
…dan tentunya, karena kamu punya
kapasitas lebih dari cukup untuk merawat dan memperjuangkan mimpimu.
kapan di buku-kan kembali karyanya in 25 ? :)
ReplyDeleteSejauh ini baru "Semester 7" yang keluar. Doain yah biar tahun 2016 bisa terbit satu karya lagi.
DeleteMenurutmu, lebih enak baca novel atau kumpulan cerpen?
kalau menurut ak, lebih enak baca novel :)
Deletetrus kalau sekarang kesibukannya apa selain nulis mas fian?
Selain menulis, bekerja di startup juga. Kalo kamu? :)
Deleteohh,startup itu perusahaan media sosial? jadi penulis juga disana mas fian?
Deleteak kerja di bank :)
Perusahaan teknologi, tepatnya. Tapi ya, salah satunya media sosial sih ya. Iya, jadi penulis di sana juga.
DeleteAini kerja di bank apa?
wii,jadi penulis disana yaa...
Deletekerja dibtn,
kebetulan kaka aini juga Penulis, ada sktr 3 novel yang udah di terbetin di gramedia, namanya Meliana Zainudin. mas fian tahu ga ya, atau udah pernah baca karyanya juga, sesama penulis?.."
Wow, keren dong! Boleh nanti aku beli ya. Judulnya Seoul Love Story, kan?
DeleteHiihi boleh banget, iyah novel perdananya, skrgg lagi nyuruh novel ke 4 nya insyaallah... Nanti ya dislamiin sesama penulis.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteGue tadi pagi sedang gegalauan buat ambil salah satu kerjaan atau enggak. kalo ambil, paling tidak, gue masih mempertanyakan untuk apa dan kerjaan itu berbeda dengan idealisme gue. sementara kalo ga ngambil, kesempatan ga datang dua kali. gue butuh kerjaan buat terlepas dari status-yang-kata-orang-orang-pengangguran-meskipun-gue-merasa-banyak-kerjaan. terus baca tulisan lo ini, mungkin gue yang masuk dalam golongan ketiga-alasan rasional hanya sebagai denial atas kekurangan kerja keras gue. haha. meskipun sesungguhnya gue ga suka digolong-golongin. tapi kenyataannya begitu. terus what's the point of my comment? pikir aja yak. buat pr.
ReplyDeletePada blog yang penulisnya termasuk ganteng sejagat, setiap orang boleh berpendapat. Pendapat itu boleh ringan, boleh berat. Bahkan bila komentar itu berupa curhat. Yang penting, nuansanya tidak menghujat.
Deletekebetulan gue bentar lagi 25, trus nemu tulisan ini... :'D
ReplyDelete