Dua Rasa



Seorang pria masih juga terjaga dari tidurnya, padahal segala hal sudah ia lakukan dengan cermat. Makan berat, mandi air hangat, hingga minum susu cokelat. Semua itu adalah yang disarankan oleh Rahmat. Nyatanya, beban perasaan itu belum juga tamat.

Yang membuatnya berat adalah rasa cinta di luar pagar pernikahan. Dalam tataran pacaran, menggandakan hati lalu memberikannya kepada dua wanita sekaligus adalah seleksi, untuk kemudian dilanjutkan dalam resepsi. Setelah resepsi, seharusnya tidak ada lagi aksi. Namun, apa daya bila mata dan hati seorang pria terperangkap dalam sensasi?

“Ku, jika kamu benar-benar tak kuasa menahan rasa—semoga ini tidak terjadi—hanya ada satu cara mengatasinya,” kata Rahmat, tetangganya ketika ia masih tinggal di wilayah Kramat.

“Apa?” kata pria bernama Aku itu.

“Tidurlah dengan posisi telentang. Lalu bayangkan dirinya senyata mungkin, seakan-akan kau memang memilikinya. Kau akan begitu cepat memilikinya. Seutuhnya.”

“Kamu bercanda?”

“Kenapa harus bercanda?”

“Karena kamu ngawur.”

“Kenapa tidak dicoba?”

“Oke, tapi setelah itu, aku kan mengolok-olok nasihatmu.”

“Lakukan kalau kau bisa.”

Pada akhirnya, memang niat itu terbersit juga. Apalagi jarum pendek jam dindingnya menunjukkan pukul dua. Aku masih juga terjaga. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mencoba.

Aku melihat istrinya. Ia tidur begitu nyenyak sambil mengapit lengan kiri suaminya. Sempat terbersit rasa bersalah, namun nafsunya kali ini tidak mau kalah. Diawali dengan kata ‘maaf’ untuk sang istri yang diucap dalam hati, Aku berniat membayangkan wanita kedua menjadi miliknya.

“Untuk malam ini saja.”

Aku membayangkan semuanya. Bergandengan tangan dengan malu-malu di taman, menyelipkan sekuntum kenanga di telinga kanan, mengumbar segala gombal dalam dosis yang mengerikan, hingga mengucap ijab kabul yang secara teknis mengantarnya ke pelaminan. Semua begitu indah, seakan-akan semua bebannya tumpah ruah. Membebaskan hati. Melegakan. Sensasinya mengaburkan batas khayalan dan kenyataan. Aku membuatnya senyata mungkin. Serinci mungkin. Semeyakinkan mungkin. Dia bahkan tidak menyadari, apakah dia masih tersadar atau sudah terjun ke alam mimpi....

“DHUAR!” bunyi petasan di luar membuat Aku membuka mata begitu cepat. Hormon adrenalin memicu jantungnya berdetak dalam ritme yang rapat. Besar keinginannya untuk mengumpat, namun kepalanya terasa berat. Ia hendak menggerakkan badan, namun tak mampu. Kedua lengannya kini terapit oleh dua tubuh. Yang satu istrinya, yang kedua wanita impiannya.

Perlahan, si wanita impian terbangun dari tidurnya. Ia lalu berkata, “Kenapa, Mas?”


***

Comments

Popular Posts