Three Dimensions of Contextual Knowledge


Disclaimer:
Tulisan ini ditujukan untuk para pekerja kreatif secara umum dan mahasiswa mata kuliah Sosiologi Ekonomi yang kayaknya-kok-ribet-banget-ngertiin-bahan-kuliah. Karenanya, mohon maaf kalau agak berbobot. Yah, kapan lagi gue bisa keliatan pinter di tulisan sendiri?

Pernah denger Aesthetic Economy? Secara sederhana, Aesthetic Economy adalah kegiatan yang melibatkan aspek ekonomi dan seni sekaligus. Ini istilah sosiologi. Istilah populernya barangkali ‘ekonomi kreatif’.

Ciri-ciri Aesthetic Economy? Pertama, produk yang terus berubah. Kedua, penekanan mengenai pentingnya taste. Untuk menunjang hal itu, diperlukan kerja kreatif untuk mendesain/menghasilkan produk dan menjualnya di pasar. Nah, untuk memahami ekonomi kreatif ini, digunakanlah pendekatan Contextual Knowledge (pengetahuan kontekstual). Pendekatan inilah yang menurut gue bermanfaat bagi para pekerja seni untuk eksis dalam dunia ekonomi kreatif yang mereka jalanin.

Secara sederhana, Contextual Knowledge dibagi tiga, dan ketiga bentuk pengetahuan kontekstual itu adalah:

1. network of actors;
2. province of meaning; dan
3. final consumer markets.

Oke, kita mulai dari bahasan pertama.

1.      Network of Actors
Banyak industri kreatif dipengarui oleh kerja kolektif yang terkumpul secara geografis, meski tidak semua orang yang terlibat merupakan pekerja kreatif.

Kenapa bisa begitu?

Karena ide kreatifnya berasal dari satu orang. Ide itu kemudian diolah bersama dengan kelompoknya. Misalnya, sebagai pekerja kreatif, kamu punya ide bikin buku sebagai medium cerita kamu. Untuk mewujudkannya, kamu perlu editor, perancang sampul, pengatur tata letak, percetakan, sampai toko buku untuk memajang buku kamu.

See? Kamu yang punya ide ceritanya, lalu ide itu diproses sedemikian rupa bersama sekumpulan orang lain hingga berbentuk buku. Ingat, pengetahuan seseorang hanya bisa terwujud bila didukung oleh orang lain.

2.      Province of Meaning
Sederhananya, ini adalah ‘sumber inspirasi’ untuk kerja kreatif. Para pekerja seni biasanya mendapatkan province of meaning dari hal-hal seperti fashion, film, desain, dan bentuk kesenian lainnya.

Nah, untuk mendapatkan inspirasi, diperlukan sumber inspirasi dari wilayah seni yang berbeda dengan yang kita kerjakan. Gue sendiri mendapatkan ide menulis biasanya dari film yang gue tonton, mengobrol dengan orang lain, atau sekedar memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar gue seperti bajunya, celananya, dan aksesorisnya demi membantu membuat bagian deskriptif suatu cerita.

Jadi, bukan berarti karena gue adalah seorang penulis, gue harus dan hanya bisa mendapatkan inspirasi dari membaca karya tulis orang lain.

3.      Final Consumer Markets
Aesthetic worker (pekerja seni) setidaknya harus mengetahui—meski sedikit—tentang final consumer mereka, orang-orang yang berkata ‘ya’ dan ‘tidak’ untuk produk yang mereka hasilkan. Dalam hal ini, aesthetic worker perlu umpan balik dari penjualan produk mereka. Umpan balik ini nantinya akan digunakan sebagai bahan evaluasi sehingga akan tercipta produk yang lebih baik, yang dalam hal ini memenuhi harapan konsumen.

Gue mempelajari hal ini pertama kali dari Adhitya Mulya. Tiap naskahnya selesai, dia selalu memberikan naskah itu ke teman yang nggak begitu dikenalnya, lalu minta saran dan kritik. Itu bisa dia lakukan sampai enam kali, lho. Nggak heran karyanya banyak yang suka. Dalam hal ini, Kang Adhit memahami final consumer market-nya.

Bagaimana jika kita melupakan aspek ini? Yah, produk lu nggak laku.
Siapa yang tidak melakukan aspek ini? Steve Jobs.

Dia selalu meyakini bahwa konsumen/pasar nggak tahu apa yang mereka inginkan. Tapi kenapa dia bisa tetap sukses dengan produknya?

Pertama, Steve Jobs memiliki network of actors yang luas. Steve Wozniak adalah salah satu yang ia miliki di awal. Jobs kemudian mengumpulkan tim berisi sekumpulan orang yang dimanipulasi sedemikian rupa untuk mengikuti visinya. Ketika Sculley mendepaknya dari Apple, network of actors miliknya ia "bajak" dari Apple ke NeXT Computer, jelas membuat berang para petinggi Apple. Belakangan, Apple di bawah kepemimpinannya memiliki network of actors macam Rubinstein, Cook, dan tidak ketinggalan Ive.

Kedua, Jobs punya province of meaning yang luas, dalam artian dia mendapatkan inspirasi mengenai desain produknya dari aliran kebatinan Zen. Hasilnya, melalui penekanan pada desain yang simpel dan penggunaan grafis daripada kebanyakan komputer Microsoft yang pada saat itu masih menggunakan teks, Jobs mengedukasi konsumennya bahwa menggunakan komputer Apple itu lebih mudah dan asik daripada menggunakan komputer yang kebanyakan teks.


Ilustrasi: fineartamerica.com

Comments

Popular Posts