Penyebab Gagal Mengakhiri Cerita

Pernah ngerasa bikin novel tapi nggak kelar-kelar?

Udah bikin sinopsis sampe kelar tapi eksekusi menulisnya beda dari rencana di sinopsis?

Mungkin, masalah ada di karakter buatanlu.

Ketika bikin cerita, mau nggak mau kita berurusan dengan karakter. Dia yang nantinya ngelakuin apapun yang kita mau dalam cerita. Nggak perlu gue ceritain di sini seberapa pentingnya karakter karena ujungnya bakal jadi basa-basi aja. Intinya, cerita lu nggak bakal jalan kalo nggak ada karakter yang memainkannya, meskipun karakter itu berupa benda mati.

Permasalahannya adalah kadang seorang penulis menjadi begitu posesif dengan karakternya. Karakter yang sebenarnya bisa dibikin berbadan kekar tapi cengeng, dimainin, dibunuh, dibikin hamil di luar nikah, dibuat gila, malah dianggap kayak anak sendiri. Dampaknya,
  1. Karakter rekaan kita punya sifat dan deskripsi fisik nyaris sempurna; atau
  2. Cerita kita nggak selesai.

Lho, kok bisa nggak selesai?

Mari kita asumsikan bahwa keinginan membuat cerita yang sempurna membuat kita jadi terlalu sayang dengan si tokoh utama. Ibarat anak sendiri, kita pengin cerita si karakter utama ini happy ending, tapi nggak mau ada konflik yang terlalu membahayakan karakter utama, atau bahkan nggak ada konflik sama sekali!
Padahal, meskipun manusiawi untuk membenci konflik (terutama dalam kehidupan kita yang fana ini, yoih), cerita bisa jalan karena ada konflik. Penelitian ilmiah bisa jalan karena ada permasalahan. Sampe segala kemudahan yang kita nikmati lewat gadget pun diawali dari konflik, terutama konflik berkomunikasi.

Ya, konflik itu seperti jamu. Rasanya nggak enak, tapi menyehatkan.

Dalam konteks menulis novel, ya menyehatkan jalan ceritanya. Jadi lu bisa mengakhiri novel dan beralih ke ide baru yang tercipta saat pulang sekolah/kuliah/kerja tadi.

Terus, gimana cara biar kita ‘tega’ sama si karakter utama ini?

Pertama, disiplinlah mengikuti sinopsis yang udah susah payah lu buat.

Kedua, kalau cerita itu terlanjur dibuat 10 bab dengan melanggar sinopsis (wow, 10 bab tanpa sinopsis? imajinasi yang luar biasa), janjikan pada diri kalian untuk menghadiahkan happy ending pada tokoh utama, tetapi setelah memberikan dia ‘cobaan’ yang cukup kuat untuk membantu kalian mengakhiri cerita. Buat konflik utamanya, lalu sesuaikan dengan bab-bab sebelumnya. Misalnya, dengan membuat karakter antagonis yang nyelip dikit-dikit di bab awal. Intinya, tingkatkan dosis konfliknya. Ingat, konflik adalah jamu. Jamu adalah konflik. Konflik adalah jam...ya pokoknya gitulah.

Semoga membantu!



Your (still learning) writer,
-zp-


Comments

Popular Posts