Post Pertama sebagai Orang Kantoran

Perkenankanlah gue untuk menyalahkan kesibukan kantor yang bikin kegiatan nulis aja susahnya kayak orang sembelit.

Sebelumnya, gue memutuskan untuk rehat sehabis lulus. Kenapa? Karena secara mental, gue lelah. Nulis skripsi dan sidang ternyata nggak cukup bikin capek dibandingin kegiatan sehabis sidang, yaitu nyetak skripsi, berburu tanda tangan, dan ngurusin kelulusan blablabla. Jangan tanya gue seberapa frustasinya itu. Yang jelas, cukup buat bikin gue yang tadinya mau langsung kerja jadi malah rehat sampe sekitar satu bulanan. Kelar rehat, langsung gerak cepat buat nyari kerjaan.

Sekarang, gue kerja di salah satu perusahaan terkemuka Jerman. Yang namanya perusahaan Jerman itu sepengetahuan gua kulturnya nggak jauh-jauh dari dari perusahaan Jepang atau Cina. Bukan work for life, tapi life for work. Gue yang jaman rehat kenyang tidur, pas kerja langsung kaget. Perasaan baru tidur bentar, eh tau-tau udah pagi aja. Kembali ke rutinitas jaman PKL jaman dulu. Macet-macetan. (dengerin orang) Klakson-klaksonan. Lembur-lemburan. Dan khusus yang terakhir itu, gue rela sering lembur tanpa dibayar alias lembur ilegal demi mengasah mental dan kemampuan kerja. Gimanapun, seorang fresh graduate dari kampus yang atmosfernya riset selalu akan butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kantor yang segalanya serba cepat tapi harus teliti dan berurutan juga. Sementara kalo urusan riset, elu nggak perlu terlalu ribet berurusan sama SOP (standard operating procedure), yang penting penelitianlu harus hati-hati, tepat sasaran, dan nggak plagiat.

Soon, gue jadi troublemaker di kantor. Hampir tiap hari adaaaa aja salahnya. Hampir tiap hari gue lari-larian sana sini kayak topeng monyet dan abangnya lagi kena razia Pemda DKI. Sensasinya kayak David Moyes di Manchester United, merasakan tekanan yang luar biasa gede. Segala usaha udah gue kerahin tapi nggak banyak membuahkan hasil, meski kata asisten manajer kemajuan gue terbilang pesat. Mungkin dia berusaha menghibur aja. Entahlah. Sampe bingung sendiri, gue.

Pada hari Jumat di pekan ketiga ngantor, gue nge-drop.

Pada titik tertentu, rasa malu yang nggak ada obat, gue sampe nggak mau ngaku lulusan kampus mana. Demi menjaga nama baik almamater, batin gue saat itu. Gue yang marah sama diri sendiri memutuskan untuk berusaha lebih keras dan lebih gila-gilaan. Dan karena alasan itu pula gue menjalani kehidupan dateng-paling-pagi-pulang-paling-malem. I do CR7. Kita tahu bahwa Cristiano Ronaldo di MU dulu adalah orang yang latihan paling pagi dan pulang paling terakhir. Gue percaya ketekunan yang dia contohkan bisa berhasil juga kalo gue terapkan.

Perlahan-perlahan, usaha itu membuahkan hasil. Setelah satu bulan (dan empat kali lembur resmi alias dibayar), kecepatan kerja gue meningkat. Gue yang biasanya cuma bisa nyelesain sekitar 40 dokumen tiap hari (jumlah ini akan berkurang kalo ada kasus yang harus gue kerjain) dan nyisain sekitar 20-an dokumen buat besok pagi sekarang udah bisa menyelesaikan semuanya dalam satu hari. Semua ini penting banget mengingat Desember ini bulan closing. Volume transaksi, mau barang mau jasa, meningkat secara signifikan.

Meski begitu, ada semacam kerinduan dalam hati bahwa gue kangen menulis. Sangat kangen. Saking kangennya, gue sampe nyewa Guest House di Depok buat menyendiri dan belajar menulis dari awal. Siapa tahu nantinya gue punya semacem kurikulum yang jelas buat workshop nulis. Itu pun kalo gue kelak pindah kantor, ya. Hehehe. Gimanapun, di kantor yang sekarang, waktu dan tekanan kerjanya bikin gue agak sulit bahkan buat ngelamun.

Sekarang ini, gue masih mau melanjutkan penggemblengan diri di kantor ini. Ada kemajuan, tapi nggak cukup buat standar gue. Gue mau lebih cepat, disiplin, efisien, dan 'menguasai lapangan'. Setelahnya, gue mungkin akan resign dan kembali ke akar: menjadi seorang penulis. Entah di perusahaan mana.

Dari sini, ada beberapa hal yang bisa kita ambil.

Satu, idealisme itu, sebesar atau sekecil apapun, ada harganya. Untuk membayar harganya, kita seringkali harus realistis.

Kedua, sikap realistis itu bukan alesan juga buat memadamkan idealisme yang kita punya. Terus harus gimana dong? Kuncinya adalah tetap memelihara akal sehat dengan mengingat tujuan awal kita, jadi kita nggak terjebak dalam zona nyaman.

Okelah mungkin segitu dulu. Sori kalo bahasannya ngalur-ngidul nggak jelas gini. Sesulit apapun kondisinya, gue tetap berusaha menulis kok, meski frekuensinya berkurang drastis. Post ini sekaligus menjawab pertanyaan orang-orang yang nanyain kabar blog gue. Yes, this blog is still alive.

Sebagai penutup, ijinkan gue mengingat kembali pepatah Cina ini: kerjakanlah sesuatu yang kamu sukai dan kamu nggak akan pernah kerja selamanya.



Your humble writer,


Fian.


Comments

Post a Comment

Popular Posts