Berani Masuk UI

Gue mungkin bukan orang yang akan memotivasi kalian untuk masuk UI atau perguruan tinggi negeri lainnya dengan kata-kata manis. Tulisan ini gue buat karena tiga hal: terinspirasi oleh twit @anakuidotcom, adik gue yang bentar lagi mau kuliah, dan pengalaman kuliah sendiri. Tulisan ini juga gue buat dengan pertimbangan pengalaman dan observasi langsung. Oh ya, tulisan ini juga murni dibuat untuk pencerahan/informasi tambahan. Jadi kalian sendiri yang memutuskan akan bersikap apa setelah selesai membacanya.

Biasanya, banyak orang takut masuk UI atau PTN terkemuka lainnya karena dua hal; persaingan dan uang. Ketakutan atas persaingan cakupannya di diri sendiri dengan pelajar lain. Ketakutan yang kedua, uang, terbagi menjadi biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari. Mari kita bedah satu per satu.

Persaingan adalah bentuk ketakutan yang wajar dan manusiawi. Sebagai anak UI, gue dulu termasuk orang yang suka skeptis sama diri sendiri. Gue denger, sekarang ada kurang lebih 52.000 siswa ngerebutin 2200 kursi mahasiswa di UI. Kalo gue yang dulu jadi siswa jaman sekarang, ngebayangin persaingannya aja udah bikin perut mules. Tapi ingat kawan, kita ini dulunya sperma. Ya, sperma! Kita adalah satu-satunya sperma yang bersaing dan berhasil masuk sel telur untuk menjadi seganteng sekarang. Hidup sperma! Yeeeaaahhh!!!

Oke, belum apa-apa udah hilang fokus.

Yah, maksudnya sih kenapa kita harus takut dengan persaingan. Dari jaman masih berbentuk sperma juga kan kita udah bersaing untuk survive. Persaingan ada untuk melihat kualitas dan tidak ada cara terbaik lolos dari rintangan persaingan selain dengan meningkatkan kualitas dirimu sendiri. Cara terbaik menyikapi persaingan adalah dengan menghadapinya. Face it! Never hide it. Dengan konsep diri dan manajemen mental yang baik, risiko persaingan bisa diminimalisir.

Omong kosong? Mari lihat bagaimana gue membuktikan ini.

Buat gue, masuk UI dulu adalah sebuah mission impossible. Pertama, gue berasal dari STM yang kurikulumnya berbeda dengan SMA. Kedua, jurusan yang mau gue ambil adalah IPS, aliran pelajaran yang udah tiga tahun nggak gue pelajari. Sekali lagi, gue sempet mengkerut menghadapi kenyataan ini. Gue yang sebiji anak STM akan bersaing dengan anak IPS seluruh Indonesia.

Tapi, emang nggak ada yang bisa mengalahkan kekuatan keyakinan. Harus ada satu hal yang memotivasi lu untuk masuk PTN yang lu inginkan. Apapun. Gue dulu mau masuk UI karena mau escape dari kondisi ekonomi keluarga (belakangan, hal ini divalidasi oleh pernyataan seorang temen yang kuliah di FE bahwa untuk dapat meningkatkan kelas sosial, diperlukan capital (modal uang) dan/atau knowledge). Pemikiran gue saat itu, taraf pendidikan yang lebih tinggi akan membuka lingkaran pertemanan yang lebih luas dan bermanfaat. Dari sana, terbuka banyak pengalaman dan kemungkinan baru untuk mempermudah jalan hidup gue selanjutnya. Maka dari itu, pikirkan lagi kenapa lu harus masuk PTN yang lu inginkan, entah itu UI, ITB, UGM, atau PTN lainnya (ini akan sangat membantu lu ketika mulai patah arang di tengah jalan).

Saran gue, singkirkan semua fakta perbandingan daya tampung itu. Singkirkan semua statistik sialan yang bikin lu mengkerut. Singkirkan bisikan miring dan skeptis dari orang-orang di sekitar lu karena gue yakin, orang yang bilang lu nggak bisa masuk UI biasanya ngomong berdasarkan sejarah dirinya sendiri. Mereka bilang lu nggak bisa karena mereka sendiri juga nggak bisa. Kalau lu percaya omongan mereka, sama aja lu belajar akhlak ke juragan preman, atau belajar ilmu finansial ke orang miskin. Percayalah sama diri lu sendiri, ambil pengalaman orang-orang yang udah sukses duluan, bergaullah dengan orang-orang yang optimis, lalu belajar dan berdoalah dengan membabi buta.

Lanjut ke masalah selanjutnya: duit.

Seperti yang gue bilang tadi. Masalah uang biasanya dibagi jadi dua, uang kuliah dan uang hidup sehari-hari. Meski begitu, penyelesaiannya ternyata ada lebih dari dua jalan. Di UI, lu bisa melakukan banyak hal untuk menyiasati factor ekonomi ini, mulai dari minta keringanan pada pihak kampus, berburu beasiswa, sampai jualan donat!

Seorang mahasiswi UI yang magang di sekolah gue dulu pernah bilang bahwa di UI, ada begitu banyak beasiswa berseliweran, baik dari pemerintah, yayasan, atau perusahaan swasta. Saat itu, perkataannya jadi pembuka semangat bagi gue dalam mengobarkan kembali cita-cita kuliah. Gue nggak terlalu memikirkan gimana cara ngebayar kuliah. Yang penting diterima dulu deh. Begitu diterima, gue bekerja sama dengan BEM fakultas dalam mengupayakan keringanan pembayaran biaya kuliah. Waktu itu biaya kuliah gue per semester Rp5 juta, namun dengan keringanan itu jumlahnya menyusut jadi Rp1,1 juta. Uang pangkalnya Rp5 juta, menyusut juga jadi Rp2-3 juta (sori gue lupa pastinya). Nah, gue denger sekarang di UI uang pangkal sudah dibebaskan. Tentu ini jadi kemudahan tersendiri buat kalian, kan?

Setelah itu, gue fokus dapetin IP setinggi-tingginya di semester pertama. Ini penting, lho. Selain biar IPK lu nantinya kalo turun nggak jeblok-jeblok amat dan kalo naik lebih gampang, IPK yang bagus juga berguna buat mencari beasiswa.

Rata-rata beasiswa mensyaratkan lu untuk tidak merokok. Ada juga yang mensyaratkan surat keterangan miskin atau karya tulis ilmiah. Pemerintah waktu itu mengeluarkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dan BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) dan gue daftar untuk beasiswa PPA. Alhamdulillah, tiga tahun berturut-turut gue dapet terus. Jumlahnya pun lebih dari cukup untuk menutupi biaya kuliah.

Selain dua jalur itu, ada jalur alternatif macem jualan dan pekerjaan musiman. Kalau mahasiswa mau bikin suatu acara dan butuh dana, mereka biasanya berjualan apapun, mulai dari pakaian bekas sampe makanan semacam donat. Mau jualan jersey bola? Boleeeh. Selain itu, ada juga yang dapet pekerjaan temporer semacam mengawas UN, SNMPTN, SIMAK UI, atau ujian-ujian masuk yang lain. Ada juga yang ngawas try out UN kalau masih punya link dengan bimbingan belajar semasa sekolah. Mau ngajar di bimbel atau privat juga nggak masalah kok. Mau semuanya (keringan+beasiswa+kerja sambilan) dijalanin? Bebas! Apapunlah, yang penting halal.

Inti dari semua omongan berbusa gue kali ini adalah tidak ada hambatan yang benar-benar menghambat diri sendiri. Kalaupun ada, mungkin itu adalah kemalasan dalam belajar/berusaha atau dari pikiran yang minder/terlalu realistis. Tanya diri lu, semalas apa lu saat ini. Lihat lagi yang jauh ke depan, mau jadi apa kelak. Jangan hiraukan tanggapan orang-orang pesimis karena ELU  yang bertanggung jawab terhadap masa depan diri sendiri, bukan mereka. Kalau gagal merencanakan masa depan, lu yang nyesel, bukan mereka.

Nah, sekarang semuanya udah gue buka. Masih ada alasan untuk tidak berusaha?

Keputusan ada di tangan lu, sebagaimana masa depan lu sendiri....