Kenapa Harus Menulis 2

Karena postingan sebelumnya (Kenapa Harus Menulis) dirasa terlalu pendek, gue akan sedikit menjelaskan arti kutipan di situ.

"Ciptakanlah kebahagiaan dengan menuliskannya...."

Dalam dunia penulisan, kita nggak mengenal atas-bawah atau kiri-kanan. Dunia penulisan adalah dunia yang bebas gravitasi. Kamu bisa mulai dari akhir, bukan awal. Kamu bisa membunuh tokoh utama atau menghidupkan kembali tokoh antagonis dan menjadikannya pahlawan cerita. Kamu juga bisa membuat setting di tempat antah berantah atau membuat sebuah model peradaban yang belum pernah ada sebelumnya. Melalui tulisan, kamu bisa nyuruh orang melakukan suatu tindakan kriminal. Melalui tulisan, kamu bisa nyuruh orang manjat-manjat gunung kayak buku dan film 5cm (dan akhirnya menggerakkan roda perekonomian toko-toko yang jual perlengkapannya, hehehe). Melalui tulisan, kamu bisa bikin orang tertawa terbahak-bahak atau sekedar tersenyum manis saat air matanya belum benar-benar kering.

Gue memilih jalan terakhir.

Kebahagiaan itu diciptakan, bukan ditunggu atau diharapkan datang dari orang lain. Selalu ada kemungkinan orang datang dan memberi kebahagiaan dalam hidup kita. Tapi bukankah itu namanya 'mengemis'? Mengharapkan sesuatu yang absurd dari orang lain yang belum tentu mau memberikannya buat kita, bukankah itu menyedihkan? Lagipula, bukannya kebanyakan dari kita sangat benci menunggu?

Sebagai manusia biasa, gue ditempa untuk tidak mengharapkan kebahagiaan dari orang lain. Gue justru ditempa untuk menciptakan kebahagiaan bagi orang lain...karena nggak ada orang yang mau dikasih kesedihan. Nggak ada yang suka terus-terusan dicurhatin rasa sedih/benci/kesal. Lain halnya kalau kamu datang membawa kebahagiaan, kamu akan diterima di manapun kamu berada. Kamu merasa lebih sehat. Kuat. Kamu merasa dunia menjadi tempat yang lebih hangat untuk ditempati. Gimanapun, keinginan untuk diterima adalah salah satu naluri dasar manusia.

Dari pemahaman ini, gue bertekad untuk mendokumentasikan momen-momen menyenangkan yang gue alami. Setidaknya, itu bisa menghibur diri gue sendiri ketika gue merasa susah, sedih, terasing. Dari tulisan gue sendiri, gue tetap sadar bahwa ada orang-orang yang begitu hangat menyertai kehidupan kita yang kadang-kadang terlalu keras. Ada wajah-wajah yang tersenyum lembut saat kita merasa sendirian. Ada uluran tangan imajiner yang membantu kita bangkit dari keputusasaan. 

Gue sadar gue nggak bisa setiap saat membawa kebahagiaan bagi orang lain. Ketika gue seperti itu, gue setidaknya menolong diri sendiri melalui buku-buku yang sudah gue tulis. Buku-buku ini, lebih tepatnya kumpulan kenangan yang ada di dalamnya, terasa seperti seorang anak yang menyapa ayahnya sepulang bekerja. Omelan bos seharian, tekanan pekerjaan, emosi di jalan pulang, semuanya hilang. Kalah oleh sapaan anak yang berlari untuk memeluk kita. Menghangatkan.

Sumber dari sini

Kebahagiaan punya dimensi yang begitu luas. Bagi seseorang, sebuah senyum simpul mungkin udah cukup didefinisikan sebagai kebahagiaan. Bagi yang lain, bisa tertawa terbahak-bahak sambil berangkulan dengan orang-orang yang disayangi merupakan bentuk yang lain. Bebas. Selama kebahagiaan itu nggak mengganggu orang lain. Selama kebahagiaan itu juga memiliki makna yang sama bagi orang lain. Menular.

Dari situ, sebagai seorang manusia biasa, gue mengajak teman-teman semua untuk menulis demi menciptakan kebahagiaan. Mari kita ciptakan kebahagiaan demi menepis pengaruh negatif sinetron, berita politik, atau berita tawuran pelajar/mahasiswa yang lebih banyak diliput media ketimbang prestasi mereka yang (gue yakin banget) seabrek...bahkan di dunia internasional. Mari kalahkan rasa pesimis, inferior, dan amarah dengan segenggam kebahagiaan yang kita punya. Karena kalau bukan kamu yang menghibur dirimu sendiri, siapa lagi?



Temanmu yang sedang belajar ketulusan,


Zulfian Prasetyo


Comments

Post a Comment

Popular Posts