Nyalakan Lilin, Bukan Mengutuk Kegelapan

“Perjuangan mahasiswa sekarang udah melempem!” kata temen gue. Beberapa hari yang lalu, dia terlibat diskusi dengan bagian kastrat BEM fakultasnya. Diskusi itu dia wacanakan ke gue dalam suatu aktivitas ngobrol sore hari. Sejujurnya, gue agak bingung dengan pernyataan temen gue ini. Gue pun memberanikan diri bertanya,

“Melempem di mananya?”

“Sekarang, mana ada mahasiswa kampus kita demo ke gedung DPR? Udah nggak mikirin nasib rakyat lagi. Sibuk di zona nyamannya sebagai mahasiswa.”

“Oooh…”, dan waktu itu, gue cuman bisa tersenyum manis dengerin perkataan temen gue ini. Abis itu, kita lanjut ke topik-topik diskusi lain sampai waktu nggak mengizinkan kita untuk mengobrol lebih jauh.

Waktu lagi ngepel lantai pagi ini, pikiran itu menyeruak lagi ke permukaan. Mau nggak mau, gue jadi mikirin lagi perkataan temen gue itu. Renungan gue berjalan menuju satu kesimpulan.

Asumsi semacam itu adalah egois.

Kenapa? Karena perjuangan mahasiswa itu nggak harus berteriak di depan gedung DPR. Perjuangan melawan kegelapan tidak sesempit itu, kawan. Kita perlu lihat dari dimensi yang lebih luas. Rumah belajar (rumbel), semacam sekolah terbuka bagi anak-anak yang kurang mampu, juga patut diperhitungkan. Itu belum termasuk bakti sosial atau seminar-seminar keilmuan dan keagamaan sebagai pembentuk karakter kepemimpinan yang mungkin nggak kita dapet saat kuliah biasa. Bahkan hal-hal yang bersifat mementingan diri sendiri—ketertarikan pada kewirausahaan, misalnya—juga kelak punya andil dalam membangun bangsa dengan cara meminimalisasi pengangguran dan manfaat terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut gue, kegiatan-kegiatan seperti ini jauh lebih konkret daripada mengutuk kegelapan pejabat-pejabat kita yang, ketika masih mahasiswa pun, berteriak mengutuk seniornya yang udah duluan jadi pejabat.

Tanpa bermaksud mengesampingkan manusia-manusia demo ini, gue ingin menyuarakan sebuah gagasan bahwa yang namanya kontribusi itu,

  1. Banyak jalannya. Lakukan aja kebaikan, apapun itu, semampu kita. Seburuk apapun manusia, pasti dia punya kelebihan/kemampuan. Tulisan ini pun dibuat sebagai cara gue berkontribusi sesuai kemampuan. Kalau merasa nggak punya hal-hal semacam itu, minimal punya itikad baik dan keinginan belajar deh. Lihat lagi apa kelebihan kita, minat juga boleh, lalu asah kelebihan/minat itu agar lebih berguna di masyarakat. Jangan berpikir sempit.
  2. Mulai dari hal-hal yang kecil. Lihat hal-hal remeh sekeliling kita. Apakah ada yang bisa kita lakukan? Seberapa lama kita menghabiskan waktu bersama keluarga? Seberapa sering kita tersenyum dan menyapa tetangga? Kapan terakhir kali kita mengucapkan terimakasih kepada satpam kampus, sopir yang biasa nganter kuliah tiap hari, dan penjaga SPBU tiap isi bensin? Atau jangan-jangan kita kebanyakan nyela kesalahan orang sampai hal-hal seperti ini hampir nggak pernah kita lakukan? Gue harap nggak begitu.

Kalo elu termasuk orang yang pemalu atau rada gengsi, senyum juga udah termasuk kontribusi untuk bangsa, lho. Senyum menimbulkan perasaan nyaman di hati, apalagi kalau senyum kita dibales sama orang lain. Perasaan positif ini nantinya bakal menular ke pikiran dan tindakanlu, setelah itu ke orang lain. Dan seterusnya, dan seterusnya.

  1. Ikhlas beraksi. Nggak usah memikirkan seberapa besar balasannya karena Allah Mahatahu dan Mahaadil. Yang penting lakukan, itu aja. Masih belum bisa ikhlas beramal/berkontribusi? Santai aja. Yang penting elu action aja dulu. Entar juga ikhlas sendiri, apalagi kalau sensasinya udah berasa. Yakin, deh!

Nah, mungkin segitu dulu tulisan gue. Sekali lagi, gue mohon maaf kalau ada yang tersinggung sama tulisan ini. Bagaimanapun, gue tetap menghargai temen-temen yang suka demo untuk menunjukkan aspirasinya, selama didasari oleh niat tulus membangun bangsa, bukan karena kepengin bolos kuliah dan seru-seruan tereak di jalan, apalagi biar dianggap hebat sama orang lain....



Comments

  1. Elo, Zulfian Prasetyo, tau persis apa pendapat gue sama postingan lo yg satu ini kan?! Bagi gue, mereka gak lebih dari ondel-ondel! Die and straightly go to heeeeeeeell! >:|

    ReplyDelete
  2. Agak berat nih tulisannya (apa karena berat bdn penulisnya jg bertmbh?? Piss)

    Yg sy tau jg yg namanya demo/aksi itu adl jln t'akhir yg mngkn hrs ditempuh kalo sekiranya diplomasi itu dah ga bisa lagi.Dan demo itu jg ga sembarangan lho.. ada tahap2 prosesnya hingga tercapai satu keputusan untuk aksi. (lumayan dpt pencerdasan politik dari kmps nih.. hehe)

    Bahkan ada demo/aksi yg menurut sy cerdas dan elegan, contohnya di mesir wkt itu..

    Intinya emang sbg pemuda harapan bangsa (kayak nama sekolah y..), harus terus berkarya, berprestasi, dan peka+peduli sama sekitar aja kali ya...

    ReplyDelete
  3. Dengan kata lain, cara apapun [yg baik] asal itu untuk kepentingan rakyat bakal elu dukung, gitu?

    Lalu kenyataan bahwa demo-demo yang sekarang dilakukan itu sudah kurang mewakili rakyat merupakan asumsi sepihak aja? Bahwa perjuangan yang 'itu' tidak sesempit demo-demo sahaja?

    Iya, lebih baik nyalain lilin sendiri daripada nyalain lilin orang lain. Mulai dari diri sendiri, sebuah organisme terkecil dalam masyarakat.

    ps: yah, namanya juga esai diri [pendapat], kagak pake minta maaf juga keren.

    ReplyDelete
  4. @Akatsuki: Jangankan deadlock (kebuntuan diplomasi), kalo semua langkah dan kepercayaan rakyat udah mati, nantinya demo biasanya akan terjadi dengan sendirinya sih. Gak mesti berkaitan dengan diplomasi, demo para keluarga tentara AS yang menentang anaknya terjun perang di Afghan & Iraq bisa dijadikan contoh.

    Khusus demo revolusi Mesir, selain karena kondisi internal (kemiskinan rakyat Mesir), demo juga ada penggeraknya (orang2 dibalik layar, mungkin oposan pemerintah atau orang didikan AS, yang punya kebijakan kapan sebaiknya melakukan revolusi).

    Setuju!

    @ibnumarogi: Sepertinya begitu.

    Nah, yang ini gue agak kurang ngerti deh. Btw, lu juga bisa kok, bikin demo menentang siapa kek. Kalo lu punya koneksi, di Depok banyak makelar demo, tuh. Serius.

    Setuju! :D

    ReplyDelete
  5. Btw, kata-kata di judul ini pernah juga saya omongin sama teman. Gara-gara waktu itu dia cuma sibuk mengkritik sesuatu tanpa berbuat apa-apa buat perbaikan ke depannya. Dengan agak sedikit kesal, saya bilang "Daripada sibuk mengutuk kegelapan, nyalakan lilinmu sendiri dan jadilah penerang untuk sekitarmu."

    Eh, dia langsung diem seribu bahasa, hehe..


    NB: kalo ada waktu, bisa kunjungi blog sy di fajriaktsuki.blogspot.com.
    Sebagai new comer di dunia per-blog-an, sy butuh banyak masukan dari yang sudah ahli. Makasih

    ReplyDelete
  6. Huahahahaaa...mantap!

    Kita sama-sama belajar, jri. :-D

    ReplyDelete
  7. Ini gak ada fitur like comment gitu ya? Mau ngelike commentnya oghi!

    ReplyDelete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Hahahaa, nggak ada riz. Di wordpress juga kalo mau ngelike musti daptar anggota dulu, jadi males gue. Emang kenapa, mau bikinin? xD

    ReplyDelete
  10. Cieeh yg males daftar jadi anggota wotpres.... :p
    Udaaah, ganti aja di wotpres bareng kami [persuasif banget].

    ReplyDelete
  11. sungguh ga disangka ya, kak zul bisa menulis yang seginin seriusnya juga :)
    tapi bagus banget ...
    simpel tapi berisi padat (ini tulisan apa lemper -_-)

    saya sebagai anak kelas 1 SMA yang belum mengerti banyak ttg demokrasi, kasih jempol aja deh :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts