Resensi Bacaan Jaringan Ulama Timur Tengah

Gue abis dikerjain dosen. Katanya, beliau nggak bisa ngasih kuliah hari ini karena ada rapat jam 8 pagi. Sabda dosen di pagi hari itu, buat gue, ibarat wahyu kenabian yang udah lama nggak turun ke dunia. Sangat membahagiakan. Mahasiswa pun tanpa rasa segan dan malu menunjukkan kebahagiaan mereka di depan dosen.

Sayangnya, kebahagiaan itu nggak lama karena dosen meminta kita semua untuk bikin laporan bacaan. Orang-orang yang udah terlanjur girang pun kembali lesu. Hehehe....

Kebetulan yang nggak enak menimpa gue dan kelompok gue. Yep, kita disuruh ngerjain laporan bacaan yang ditulis oleh Prof.Azyumardi Azra which is very very hard to understand by otak gue yang masih setaraf kecebong. Kondisi ini diperparah oleh keadaan kelompok gue yang nggak komplit. Satu orang sakit, satu orang lagi ikutan demo BHP. AAAARRRGGHH...!

Naah, berhubung penderitaan dari membaca resensi ini teramat berat rasanya bagi gue (hehehe...lebaaay) dan blog ini udah lama gue cuekin, jadilah tulisan ini nongol di depan mata kalian. Mohon maklum yaaa...:)

Finally, gue cuman bisa mengucapkan "Selamat Membaca" ke kalian semua. Rasakan sensasi tulisan gue yang 'lain dari biasanya', hehehe....

NB:
Ibu dosen sempet bilang bahwa rapatnya berlangsung jam 8 pagi. Konyolnya, waktu beliau lagi ngomong di kelas, waktu menunjukkan kira-kira pukul 8.30...


Laporan Resensi Bacaan
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII oleh Prof.Dr.Azyumardi Azra, MA.
BAB II: Jaringan Ulama di Haramayn Abad Ketujuh Belas


Makkah dan Madinah (selanjutnya disebut Haramayn) bersifat istimewa bagi umat Islam karena beberapa hal; Pertama, Makkah merupakan kiblat umat Islam dalam melaksanakan shalat dan merupakan tujuan umat Islam untuk berhaji. Selain itu, kedua tempat ini memiliki nilai historis yang tinggi dalam masa-masa awal penyebaran Islam oleh Rasulullah S.A.W.. Haramayn merupakan tempat perkumpulan terbesar umat Islam dari berbagai penjuru dunia, khususnya pada musim haji, sehingga tidak heran kalo perkumpulan ini selanjutnya menimbulkan pertukaran informasi, baik dalam dunia perdagangan maupun perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada bagian awal buku ini, telah dibahas bahwa kebangkitan jaringan ulama setidaknya dipengaruhi oleh empat faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: faktor keagamaan, faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor politik. Keempat faktor ini pada hakikatnya saling berkaitan satu sama lain, sehingga ketidakkondusifan situasi politik Haramayn, misalnya, tentu dapat memberikan dampak negatif serius kepada kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan di sana.

Pada kenyataannya, ketidakkondusifan pernah melanda daerah itu pada abad IX. Kekacauan diawali dari kekuatan politik kaum Syiah yang mulai mendominasi dunia muslim. Puncak kekacauan ini terjadi ketika kelompok sempalan Syi’ah, Qarmathiyah, ‘menginvasi’ Makkah. Pembunuhan terhadap tiga puluh ribu jamaah haji dan ‘pemindahan’ Hajar Aswad ke Al Hijr, Arabia Barat, merupakan bukti kebrutalan mereka yang menimbulkan efek signifikan selanjutnya.

Dampak kekacauan yang ditimbulkan kelompok Syi’ah Qarmatiyah terbilang serius. Arus jamaah haji dari seluruh dunia menurun drastis. Bahkan, arus jamaah haji asal Iraq terhenti sama sekali. Jalur perjalanan haji pun menjadi terganggu. Hasil kekacauan politik ini, seperti diutarakan sebelumnya, berdampak pula pada sisi sosial, ekonomi, dan pendidikan. Banyak jamaah haji tidak lama tinggal di Haramayn seusai melaksanakan ibadah haji. Pasar-pasar di Makkah pun hampir semuanya tutup. Di bidang pendidikan, locus (kancah) pendidikan terbatas hanya di area Masjidil Haram dan Masjidin Nabawi. Para penuntut ilmu menurun secara drastis.

Situasi baru benar-benar berubah ketika kaum Sunni mulai berkuasa kembali di Haramayn. Penguasa-penguasa Sunni (Ghaznawi, Seljuk, Ayyub), kendati sering berselisih, mampu membendung pengaruh Syi’ah dan menjalankan kebijakan yang bersifat ortodoksi terhadap ajaran Sunni. Hal ini tentunya memiliki dampak positif sehingga ulama-ulama Sunni bangkit dan kembali ke negerinya masing-masing. Kebangkitan ulama Sunni memberi sumbangan berarti pada kebangkitan madrasah-madrasah Haramayn sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan. Selain itu, kebangkitan perdagangan dapat dikatakan sebagai faktor kedua dalam indikasi positif situasi politik di Haramayn. Kebangkitan ditandai dari berkembangnya Jeddah sebagai pelabuhan utama jamaah haji dari lautan Hindia menjadi pelabuhan dengan standar internasional.

Pada abad ke-XVI, jumlah muslim yang datang ke Haramayn berkembang secara signifikan. Hal ini diindikasikan melalui banyaknya jumlah muslim yang datang ke sana. Harus diakui bahwa mayoritas muslim yang datang ke Haramayn adalah jamaah haji, namun tidak sedikit pula diantara mereka yang menuntut ilmu melalui madrasah-madrasah Haramayn setelah menunaikan ibadah haji.

Secara umum, imigran-imigran ini dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah Little Immigrant, terdiri dari jamaah haji yang mengabdikan dirinya untuk bekerja di tempat-tempat suci atau mereka yang menetap karena tidak memiliki biaya untuk kembali. Mereka akhirnya menyatu dengan masyarakat asli di sana. Tipe kedua adalah Grand Immigrant, yaitu ulama-ulama terkemuka yang berkontribusi besar dalam diskusi-diskusi ilmiah perkembangan ilmu pengetahuan. Tipe terakhir merupakan ulama/murid pengembara yang mencari ilmu ke berbagai belahan dunia. Setelah mendapatkan sertifikasi untuk mengajar, golongan terakhir ini kembali ke negeri asalnya masing-masing untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Fungsi orang-orang ini adalah seperti transmitter yang mentransfer ilmu keagamaan Haramayn ke berbagai belahan dunia muslim lainnya.

Beberapa ulama terkemuka pada periode itu mempunyai hubungan dengan inti jaringan ulama pada abad ke-17 karena memiliki isnad hadis dan silsilah tarekat yang melibatkan ulama terkemuka. Misalnya, Al-Fasi yang merupakan seorang murid sekaligus teman baik ‘Ibn Hajar Al-‘Asqalani dan Syihab Al-Din Al Ramli, dua muhadis besar yang hidup di Mesir.

Ulama-ulama non-Hijazi memberi sumbangan besar kepada pertumbuhan jaringan ulama abad ke-17. Mereka memberi contoh mengenai bagaimana interaksi keilmuan menghasilkan pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi-tradisi kecil” Islam dari India & Mesir ke Haramayn.

Selain itu, abad ke-17 merupakan abad di mana jaringan ulama menjadi lebih ekstensif dan kompleks. Persilangan hubungan ulama yang terlibat dalam jaringan ini menciptakan komunitas-komunitas intelektual internasional yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut tercipta dengan adanya upaya pencarian ilmu pengetahuan melalui lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, madrasah, dan ribath.

Dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut, hubungan yang tercipta memang terlihat lebih formal, namun hal tersebut menghasilkan hubungan antar pribadi yang erat sedemikian uniknya. Penyebab utama yang membuat hubungan itu semakin erat adalah isnad hadis dan silsilah terekat. Isnad hadits berperan dalam interaksi dan hubungan antar tradisi keilmuan sehingga menciptakan suatu tradisi yang unik. Sedangkan silsilah tarekat, khususnya dalam hal sifat dasar kehidupan dan pola-pola hubungan sruktural di dalamnya, menciptakan hubungan yang erat di antara ulama.

Keberagaman dalam hal mazhab dan afiliasi tarekat memang telah terjadi. Meski begitu, keberagaman tidak mengubah ulama-ulama dalam jaringan untuk tetap memiliki kecenderungan umum ke arah paham reformasi Islam.

Comments

Post a Comment

Popular Posts