Menjadi Tidak Sempurna

Proses penulisan naskah kedua sejauh ini udah berlangsung sekitar 90%. Gue juga sedikit lagi bakal selesai dalam tahap draft 2.

Di depan garis finish proses penulisan, gue masih berpikir, apa perlu gue merevisi lagi, mengubahnya menjadi draft 3? Karena, sebagai seorang manusia biasa, gue cenderung perfeksionis. Berusaha mengejar kesempurnaan. Untuk naskah kedua, gue juga jadi lebih berhati-hati dalam menulis. Gue berusaha sebaik mungkin supaya terlihat ada peningkatan dalam kemampuan menulis yang udah dipelajari. Gue berharap, kalo naskah kedua ini lulus dan jadi buku, hasilnya bakal lebih baik dari yang pertama.

Ada beberapa perbedaan antara naskah pertama, which is transformed into book, dengan naskah kedua. Naskah pertama membutuhkan waktu 3 tahun hingga akhirnya jadi buku. Januari 2006 pertama kalinya nulis, Januari 2009 akhirnya jadi buku. Secara umum, naskah pertama terlihat lebih kompleks buat gue. Dia begitu baik, jenaka, berenergi, polos, namun terkadang bijak.

Naskah kedua sedikit berbeda. Secara proses, dia hanya menghabiskan 1 tahun penulisan. Itu pun di masa-masa terpenting kehidupan gue, sebuah transisi dari pelajar ke mahasiswa. Gue, to be fair, masih kurang puas dengan naskah yang dikit lagi selesai tahap draft 2 ini.

One day, disela-sela latihan teater, gue bicara dengan seseorang berinisial BAMs tentang ini. Dia bilang, menjadi perfeksionis itu wajar dalam tahapan seorang penulis. Tapi kita nggak bisa gitu juga. Kita perlu untuk menjadi ‘tidak sempurna’. Kita perlu membiarkan sesuatu yang di mata kita rasanya masih kurang. Dengan begitu, kita bisa bersikap lebih arif ketika karya kita dikritik. Selain itu, sangat mungkin sesuatu yang kita sebut sebagai kekurangan itu memiliki makna lain di mata orang lain, dan mengubahnya hanya membuat sesuatu itu menjadi lebih buruk.

Kebanyakan penulis baru biasanya sangat ambisius dan menyatakan karyanya sebagai the perfect one, mahakarya tanpa cacat, apalagi cacar (ini apa sih?). Hal ini biasanya terjadi karena mereka menghabiskan banyak waktu dan mencurahkan segalanya untuk karya tersebut, dan mereka pun jadi anti-kritik.

Hanya dengan menjadi ‘tidak sempurna’, gue berusaha mengikis sifat ini dan, percaya atau enggak, merasa lebih nyaman dalam memberikan orang lain kesempatan untuk mengkritik karya gue.

Prinsip ini juga gue terapkan di kampus, terutama setelah sekarang gue terkena cacar. Dalam setiap kelompok belajar, gue sering ngerasa terlalu dominan. Seringkali lebih dominan dari ketua kelompok itu sendiri. Gue berusaha memastikan segalanya berjalan semestinya.

Sekarang, di dalam sebuah kelompok, gue berusaha untuk percaya dengan orang lain, bahwa mereka punya potensi, meskipun mereka nggak merasakannya. Ya, menjadi dominan itu kadang menyenangkan, tapi memotivasi rekan sekelompok kita untuk dominan bersama-sama itu jauh lebih menyenangkan. Ini prinsip yang sangat populer kalo kita mau jadi pemimpin yang baik. Pemimpin terbaik tidak menonjolkan diri, namun membuat siapapun yang dipimpinnya maju...kalo perlu melebihi pemimpin itu sendiri.

See? Ketidaksempurnaan bisa membuat kita lebih arif dalam menjalani hidup, kan?

Well, semoga tulisan ini bermanfaat ya! ^_^

Comments

  1. yapp kesempurnaan terkdng tdk mmbuat hidup itu indah koq...

    well bgmn blog seseorang yg bernma anisa itu ?

    seperti terjdi kemunduran yh??

    ReplyDelete
  2. banyak latihan aja, cha. Semua perlu proses. Perhatikan alurnya, kata2nya, tanda bacanya. Pokoknya, bikin gimana caranya biar minimal enak dibaca...oke!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts