Sebuah Surat Untuknya

Kepada yang tercinta,

Aku tahu dan aku sadar Allah telah menghujamkan rasa cinta-Nya dariku untukmu. Aku tahu dan aku sadar, adakalanya ini seperti meminum khamr. Ketika meminumnya, semua terasa indah. Ketika tersadar dan kembali ke dunia nyata, kita ingin meminumnya kembali dan semua kembali indah. Lepas dari sesuatu yang menyenangkan. Adakalanya tubuh kita tidak kuat, lalu kita muntah. Rasanya tidak enak. Adakalanya pula ini seperti menelan obat. Kita hanya punya dua pilihan; sembuh atau mati. Semua itu tergantung dosis yang diberikan dan kekuatan tubuh untuk bertahan. Dan tentu saja, faktor Allah sebagai Penguasa Takdir.

Kamu tahu bahwa aku selalu hati-hati. Terlalu hati-hati, malah. Aku berhati-hati dalam memikirkan setiap kata yang akan aku kirimkan padamu melalui pesan singkat. Aku tidak ingin salah dalam memakai kata lalu menyakitimu tiba-tiba. Aku seperti seorang seniman kata sekaligus arsitek. Perfeksionis. Kini, aku berhati-hati dengan fase yang sedang kita jalani. Aku tidak ingin terlalu gembira, tapi aku juga tidak mungkin merasa biasa saja. Mungkin, lebih tepat dikatakan kalau aku berhati-hati bukan terhadap fase yang kita jalani, melainkan terhadap diriku sendiri. My foolish heart.

Aku tahu dan aku sadar, perasaan ini begitu menggebu. Aku ingin sekali mengatakan ‘aku mencintaimu’. Tapi hal itu seharusnya menghasilkan konsekuensi yang diaktualisasikan dengan komitmenku padamu. ‘Aku mencintaimu’ pada hakikatnya hanyalah klausa simpel yang terdiri dari subyek dan predikat. Cukup untuk sebuah inti kalimat. Namun mengucapkannya secara langsung kepadamu bahkan tidak semudah mengetik istilah-istilah rumit dalam paragraf ini.

Aku tahu dan aku sadar, cinta itu memerlukan kedewasaan untuk dapat menjalankannya dengan baik. Aku bertanya pada diriku sendiri,“Apa aku sudah cukup dewasa?”

Dia berkata,”Hanya engkau sendiri yang mengerti jawabannya.”

Aku terdiam. Lantas aku berpikir, mungkinkah kamu jawabannya?

Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku ucapkan. Sistem otakku break-down...

Aku tahu dan aku sadar bahwa seharusnya, ketika hati kita menggebu, logika kita berfungsi sebagaimana tali kekang. Saat hati takluk, logika adalah pertahanan terakhir kita. Karena apa? Karena logika seharusnya mengendalikan hati. Tapi tidak demikian saat ini. Perasaanku ada di otak. Logikaku ada di hati. Aku tahu ini sulit untuk dijelaskan. Otakku mengatakan kalau kamu sudah memenuhi kriteria yang kuinginkan. Aku harus meraihmu. Tetapi, hatiku mencegahnya. Dia ragu padamu tanpa alasan yang jelas.

Sekarang, aku hanya bisa bersabar sambil memohon pada Penguasa Takdir, semoga langkah yang aku ambil ini benar, dan semoga aku tidak membuatmu kecewa. Aku masih ingat, ketika terakhir kali suara kita bertemu, sejak awal aku tahu kamu ingin mengungkapkan suatu kegundahan. Lantas, kamu mengucapkan permintaan maaf. Meski merasa seperti orang kalah, aku masih tidak mengerti kenapa kamu harus meminta maaf. Kamu tidak salah. Aku yang salah. Karena aku yang memulai semua kekacauan ini.

Kepada yang tercinta, aku tahu ini gila. Namun...

...aku ingin mencintaimu karena-Nya.

Comments

  1. phi...

    kadang dua insan yang saling mencinta di dunia ini bisa aja menjadi musuh di akhirat kelak...

    semua orang bisa demikian, kecuali "tidak" bagi mereka yang bertakwa...

    ^^...love each other, to and only for Allah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts