Kartini dan Paham Feminisme

Setiap tahun, tepatnya pada tanggal 21 April 2009, bangsa Indonesia merayakan Perayaan Hari Kartini. Tiba-tiba banyak banget cewek yang sehari-harinya pake tanktop bin hotpants berubah jadi berpakaian kebaya dan berkonde. Banyak karnaval di sekolah dan banyak juga digelar lomba-lomba yang pesertanya cewek. Misalnya: lomba masak, lomba merias wajah, lomba cepet-cepetan dapetin cowok (Ha? Emang ada?), sama lomba adu panco (ketauan banget ngawurnya).

Gue melihat fenomena ini lantas bertanya pada diri gue sendiri, apa sih urgensi dari Perayaaan Hari Kartini?

Guys, pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar. Kenapa beliau melakukan itu? Opini gue, supaya bangsa Indonesia khususnya perempuan tetap mengingat jasa Kartini serta meneladani kepribadiannya. Otomatis, kita perlu dong mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang pribadi Kartini sendiri.

Tapi, sadar nggak sih? Semakin hari, esensi Perayaan Hari Kartini kayaknya makin luntur aja, terutama di kalangan remaja. Kita terjebak dengan realitas seremonial. Berbagai lomba digelar tapi makna hari Kartini itu kayaknya makin luntur aja. Coba aja tanya sama temen-temen kalian sendiri, apa sih yang mereka tahu tentang Kartini? Kebanyakan bilang, Kartini adalah icon feminisme. Tapi, apa iya begitu?

The History

Sob, Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Dia sendiri adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Karena berasal dari keturunan ningrat (bokapnya Bupati, bo!), Kartini disekolahkan di Europese Lagere School sampe usia 12 tahun. Lha, kok cuman sampe segitu? Iyalah, soalnya cewek-cewek jaman dulu kalo udah umur segitu biasanya dipingit. Dan itulah yang terjadi sama Kartini.

Selama masa pingit, Kartini biasa nulis surat sama temen-temen korespondensinya: Stella, J.H.Abendanon, dan Ny.Van Kol. Gue nggak tahu lagi sih, kalo ada lagi temennya yang laen yang belum gue tahu. Maklum, belum kenalan, coy! Hehehe....

Lanjut. Pada usia 24 tahun (kalo nggak salah), Kartini menikah dengan Raden Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat. Tepatnya, pada tanggal 12 November 1903. Nah, dari pernikahan itulah dia memperoleh keturunannya, seorang anak pertama yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Kartini wafat empat hari kemudian pada usia 25 tahun. Haduh, padahal lagi cakep-cakepnya tuh! Anaknya, maksud gue....

Kartini dan Feminisme

Sampe sekarang, gue masih mikir, apa iya Kartini adalah icon feminisme Indonesia? Feminsme itu sendiri apa sih? Emangnya sesuai sama visi Kartini?

Yang gue tahu, feminisme menganut paham kesetaraan gender. Pria dan wanita nggak ada bedanya. Wanita dapat melakukan semua hal yang lazim dilakukan oleh pria. Gue sendiri nggak tahu sih, sejarahnya gimana bisa ada gerakan feminisme di dunia (ya iyalah, masak di akherat?). Tapi, yang digembar-gemborkan sih kurang lebih kayak gitu.

Gue sendiri sebenernya bukan tipe orang yang setuju dengan feminisme. Bukan karena gue adalah tipe laki-laki yang nggak suka disaingi sama perempuan. Justru karena gue sendiri menjunjung kemuliaan perempuan.

Feminisme, menurut gue, sekilas aja terlihat baik untuk kaum wanita. Padahal, dia sebenernya adalah suatu paham yang akan menghancurkan wanita itu sendiri perlahan-lahan.

Kesetaraan gender menjadi isu yang bisa dibilang fundamental di dunia Barat. Ini sudah diakui dan akhirnya mulai keliatan jeleknya. Misalnya, peran tentara wanita waktu Perang Vietnam. Waktu Vietnam lagi bergejolak, Amerika Serikat kan ikut campur tuh! Tentara AS dikirim ke Vietnam buat bantuin Vietnam Selatan, termasuk tentara ceweknya. Dan kalian tahu? Setelah perang selesai, banyak kasus pemerkosaan terhadap tentara perempuan AS yang dikirim perang terungkap. Pelakunya? Tentara cowok lah! Banyak keluarga yang ngelapor ke pemerintah AS, tapi lebih banyak lagi yang nggak ngelapor. Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa feminisme bukan paham untuk memajukan wanita, tapi sebagai paham untuk mengeksploitasi wanita itu sendiri.

Oke, karena artikel gue ini lebih mengedepankan sisi Kartini, maka pembahasan tentang feminisme gue cukupkan sampe di sini.

Bagaimana dengan Kartini? Gagasannya bukanlah feminisme, tapi lebih ke Pemberdayaan Wanita. Harap dicatat, pemberdayaan wanita berbeda dengan feminisme. Banget, malah! Dalam suratnya kepada Prof.Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, beliau menulis,

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Inilah kutipan yang membantah pemahaman orang yang menjadikan Kartini sebagai icon feminisme. Gue setuju Kartini icon wanita Indonesia, bukan icon feminisme, karena cita-citanya emang mulia banget. Kartini di mata gue adalah sosok wanita berdedikasi dalam memberdayakan wanita.

Ibu gue sendiri bagi gue udah kayak Kartini; beliau mengorbankan kariernya untuk mengasuh gue langsung melalui tangannya, karena beliau nggak mau anaknya jadi anak pembantu. Maksudnya anak pembantu di sini adalah, senang-tenang aja kalo ditinggal orangtua, tapi nangis kenceng kalo ditinggal pembantu. Realitas ini terjadi di lingkungan rumah gue, di mana memperkerjakan pembantu itu kayaknya menjadi sebuah kewajiban ibu-ibu masa kini.

Lho, kok jadi curhat?



Door Duisternis tot Licht

Pernah denger kata-kata itu? Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap kepada Cahaya) adalah kumpulan surat-surat Kartini kepada rekan-rekan korespondensinya yang dikumpulkan oleh J.H.Abendanon, seorang menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu dirilis pertama kali dengan bahasa Belanda pada tahun 1911. Abis itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap terbitlah Terang. Best-seller? Pastinya.

Fakta yang menurut gue menarik adalah asal muasal judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Ternyata, judul itu bermula dari keterkesanan Kartini terhadap isi surat Al Baqarah ayat 257, bahwa Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia akan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Istilah arabnya, minazh zhulumaati ilannuur.

Dalam surat-suatnya kemudian, Kartini sering banget mengulang-ulang kalimat itu. Dari gelap kepada cahaya. Karena sering banget dipake, Abendanon yang ngumpulin surat-surat Kartini itu ngejadiin kata-kata itu sebagai judul buku kumpulan surat Kartini.

Comments

Popular Posts