Menjadi Laki-laki di Jalan Raya


Warning! Tulisan ini akan sangat subyektif. Kamu bisa sangat setuju sekaligus tidak setuju.

Kemacetan lalu lintas di Jakarta yang semakin tidak masuk akal akhir-akhir ini ternyata membuat otak saya lebih produktif dalam berpikir. Tidak berurutan, tentu. Acak saja. Namun, ini adalah perenungan yang bisa jadi benar, bisa jadi juga salah. Di mata saya, tentu saja ini bernilai benar.

Saya selalu berpikir tentang kapan seseorang sudah pantas disebut laki-laki dan kapan ia lebih layak disebut cowok setua apapun usianya. Lingkupnya tidak perlu terlalu banyak, cukup pada lingkup perilaku di jalan raya dan lingkup gaya hidupnya.

Ich denke,
tidak ada yang salah jika seorang laki-laki mengalah di jalan. Kita tahu jalan raya kota-kota besar, terutama Jakarta, relatif ganas. Kamu bisa jatuh di jalan karena kelalaian orang lain, bukan cuma diri sendiri. Karena itu, seseorang yang terserang egonya namun memutuskan untuk mengalah bukanlah seorang pengecut. Bukan juga seorang takut.

Ich denke,
orang yang memakai helm bukanlah seorang pengecut, meskipun dia bepergian dalam jarak dekat. Pun bukan berarti orang yang tidak memakai helm adalah seorang pemberani.
Karena menurut saya, ada batas yang tipis antara berani dan nekat.
Laki-laki harus berani. Itu jelas. Keberanian adalah kualitas yang dinilai dari seorang laki-laki. Keberanian bukan berarti tidak memiliki rasa takut sama sekali, melainkan kemampuan untuk mengatur rasa takut sedemikian rupa sehingga setiap tindakan dilakukan dengan penuh pertimbangan.

Lalu, apa itu nekat? Nekat adalah kondisi tidak memiliki rasa takut sama sekali, namun juga tidak memiliki perhitungan terhadap setiap tindakan yang dilakukan.

Apa persamaan antara berani dan nekat?
Sama-sama mengambil risiko.

Apa perbedaan antara berani dan nekat?
Kalkulasi.
Yang satu mikir, yang lain nggak.

Menjadi pembalap MotoGP, itu berani.
Menjadi pembalap liar di jalan raya tanpa pelindung kepala & badan, itu nekat.

Got it?

Suatu malam di hari Jumat, motor saya dihajar oleh seseorang yang tampaknya emosi. Saya terjatuh. Saya marah, namun segera menahan diri. Saya mengecek kondisi motor; seberapa mampu ia melaju hingga ke bengkel andalan saya. Setelah itu, saya hampiri penabrak yang rupanya masih shock. Bagusnya, dia masih berhenti.

Saya dekati penabrak yang ternyata bapak-bapak. Kemarahan saya sudah surut saat itu, tapi tetap saja, saya tetap harus memberi orang di depan saya ini pelajaran. Literally a lesson. Bukan untuk meluapkan diri, melainkan agar saya adalah orang terakhir yang dia hajar di jalan. Tidak ada lagi korban setelah ini.

Waktu itu, dia berargumen. Segala alasan, dia keluarkan.
You know what? I do not listen.

Meskipun demikian, saya tidak juga mendebat dia. Daripada mendebat, saya memilih untuk melakukan hal lain. Hal yang jauh lebih berguna.

Saya minta dia untuk mengingat orang-orang yang ia cintai kapanpun ia merasa 'panas' di jalan. Saya minta ia untuk mengingat orang-orang yang menunggu di rumah.

Saya bilang, "Kalau Bapak mati, bagaimana nasib anak-istri Bapak? Urusan Bapak di dunia memang selesai, tapi tidak dengan mereka."

Dia diam.

Saya bilang, "Saya nggak masalah dengan kematian sebagaimana saya juga nggak masalah kalau Bapak mati. Tapi bagaimana dengan mereka, Pak? Mereka nungguin Bapak."

Dia berkata pelan, "Iya."
Lalu diam.

Saya juga diam, memberi dia waktu untuk meresapi kata-kata itu. Memberi waktu bagi diri sendiri juga untuk melakukan hal yang sama.

Karena itu pula yang saya pikirkan.

Bagaimana nasib orang tua dan adik saya jika saya tiada? Okelah kalau saya jadi mati. Bagaimana kalau malah cacat? Bukankah malah menyusahkan?
Pada akhirnya, menjadi laki-laki adalah berpikir sebelum bertindak. 
...karena apapun yang kamu lakukan akan berdampak pada kehidupan orang lain.



Comments

Post a Comment

Popular Posts