3 Fase Ketertarikan Perempuan, Benarkah?



"Your ex is great, Bro!" (torontosun.com)


Seseorang pernah berkata pada saya,

“Setiap perempuan punya parameter ketertarikan pada masanya,
ketika SMA, perempuan menyukai lelaki karena ketampanannya…
ketika kuliah, perempuan menyukai lelaki karena wawasannya…
…dan ketika sudah bekerja, perempuan menyukai lelaki karena kemapanannya.”


Perkataan itu terus hinggap di otak saya hingga berjam-jam kemudian, membuat saya sulit berhenti memikirkannya. Barangkali, tidak semua perempuan seperti itu. Namun, tentu ada orang-orang juga setuju dengan perkataan di atas. 

Saya kemudian kembali pada masa lalu, ketika saya yang masih merupakan seseorang yang mengenakan seragam putih abu-abu….

Masa SMA 
Saat itu, saya adalah siswa yang bersekolah di Rawamangun dan sedang sok-sokan mampir ke sebuah SMA di Halim untuk berkenalan dengan seorang wanita yang luar biasa cantik dan berbudi pekerti baik. Sambil menunggunya di kantin, saya membuka-buka lagi buku pelajaran Kimia yang saya bawa. Dia lalu datang dengan teman saya. Saat itu, saya langsung memvalidasi bahwa saya memang suka dia. Sebelumnya, kami berkenalan melalui SMS dan media sosial. Saya dikenalkan setelah sebelumnya patah hati dengan seorang wanita. Dia menggantikan posisi ‘sang mantan’ dengan begitu cepat. Saat itu, dialah ratu di hati saya.

Selama ini, saya mengira bahwa dia menyukai saya karena attitude yang saya bawa. Karena saya humoris, suka berbicara tentang banyak hal, karena saya sedang belajar lagi Kimia ketika dia datang, atau hal-hal lain yang tak jauh dari ketiganya. Karena, meskipun saya bersekolah di Rawamangun dan dia di Halim, saya tetap berusaha secepat mungkin bertemu dia dengan motor butut yang hingga kini masih menemani saya.

Ternyata, saya salah.

Teman saya bilang, dia menyukai saya karena saya ganteng. Itu saja. Dia pernah bilang ke teman saya saat mereka masih satu kelas. Saat itu, saya memilih untuk tidak percaya.

Masa Kuliah
Dari Rawamangun, saya melanjutkan pendidikan ke Depok. Di sana, saya sempat berkenalan (dan tanpa sengaja bermusuhan) dengan seorang gadis. Kehidupan di sekolah dan tempat magang di Cilandak membuat saya merasa agak cupu ketika berkenalan dengannya. Alih-alih meminta nomor ponsel, malah alamat surel yang saya minta.

“Buat apa, Fian?” tanya saya dalam hati. Dasar bodoh.

Saya pun sempat membuatnya menjadi musuh saya, atau setidaknya begitu menurut sudut pandangnya. Alasannya, kritik saya yang terlalu tajam saat dia dan kelompoknya melakukan sebuah presentasi. Saat itu, saya merasa presentasi kelompoknya annoying. Melihat mereka melakukan presentasi? Itu lebih annoying. Saya yang ketika di Cilandak biasa mengobrol iuran sekolah dan susu anak bersama rekan-rekan teknisi yang tentunya lebih senior merasa terlalu tua untuk menyaksikan presentasi annoying itu. Sebut saja saya arogan. Terserah.

Namun, takdir kembali mempertemukan kami dalam kelas yang sama. Diplomasi Australia, kalau tidak salah.

Dilandasi rasa ketertarikan dan niat untuk memperbaiki keadaan konyol saat kami berkenalan dulu, saya mengambil inisiatif untuk mengajaknya mengobrol. Kebetulan, teman-teman annoying-nya (iya, dia masih berteman dengan orang-orang yang sama) sedang sibuk mengobrol dengan orang lain. Awalnya, dia agak reluktan. Karena tak ada pilihan lain (berupa orang yang dia ajak ngobrol), dia menanggapi saya.

Saya tidak begitu ingat berapa lama kami mengobrol. Yang jelas, impresi baik telah saya berikan saat itu. Hubungan kian intens. Pada titik tertentu, dengan dilandasi oleh upaya mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang sempat tercecer, saya nembak dia. Saya ingat, dia belum mandi saat itu.

Oh, rupanya saya tidak ilfeel. Saya justru makin tertarik dengannya. Saya mengutarakan niat saya tepat di pintu gerbang kostnya. Setelah itu, kami mengobrol. Lalu, saya kembali mengutarakan niat, menanyakan keputusannya. Dia sempat mengira saya bercanda, namun akhirnya menerima tanpa menundanya selama seminggu sebagaimana tren perempuan kalau ‘ditembak’ lelaki kala itu.

Saya diterima.

Kami kemudian pacaran cukup lama. Bersamanya, saya membicarakan banyak hal, mulai dari gender di awal kami ‘jadian’ hingga pergerakan reksadana saham berbasis infrastruktur. Bersamanya, saya mengubah ambisi saya dari menjadi mahasiswa berprestasi (mapres) lalu menjadi supres. Suami berprestasi. Iya, saya berusaha untuk tidak terlalu dingin, memahami wanita dengan tingkat kesabaran alakadarnya yang dimiliki oleh seorang pragmatis. Saat itu, saya berpikir, apa gunanya lelaki pintar kalau keluarganya berantakan?

Masa Bekerja
Sayangnya, saya belum pandai mencari uang. Dua tahun setelah lulus, saya sudah dua kali berganti pekerjaan. Secara finansial, ini tentu tidak baik bagi masa depan. Saya sedang mencari aktualisasi diri waktu itu. Penting sekali bagi saya untuk mengikuti kata hati dalam memilih pekerjaan. Sementara, tidak demikian menurutnya. Yang penting dapat uang. Beres.

Pada titik tertentu, kami jadi sering bertengkar. Banyak air mata tercipta saat itu. Saya benar-benar tidak mengharapkan itu terjadi. Saya tidak berharap target menikah dengannya hancur. Bagaimanapun, dia sudah saya persiapkan sejak kuliah untuk mendampingi dan merawat anak-anak kami.

Namun, dia berpikir lain. Kami lalu selesai.

Lama tidak mendengar kabarnya, saya akhirnya kembali bertegur sapa dengannya. Dia cerita, dia sudah punya pacar. Katanya, lelaki itu adalah versi dewasa dari saya. Entah apa maksudnya. Yang jelas, pacarnya mau meminjam mobil untuk mengantar-jemput dia. Mungkin itu maksudnya. Mungkin, lho.

Saya kemudian bertanya pada diri sendiri, apakah yang teman saya bicarakan itu benar bahwa setelah bekerja, perempuan akan mencari pria yang mapan? Apakah menjadi tidak ada harganya, pria-pria level kuliah?

Sekali lagi, saya merasa bahwa selama ini, attitude adalah pintu gerbang ketertarikan wanita kepada pria. Saya kira, seiring berjalannya waktu dan kedewasaan seorang, kebenaran yang saya anut ini akan ‘semakin benar’. Tapi, sepertinya memang tidak ada kebenaran yang absolut. Kebenaran yang teman saya sajikan, meskipun terasa provokatif, juga mengandung kebenaran.

Well, sepertinya saya harus lebih giat mencari uang.


Comments

  1. Cie yang lagi curhat hehehe. Sebagai salah satu sampel dari sebuah komunitas bernama para wanita... gue komen ya bang. Lebih banyak lagi sebenernya alasan seorang wanita tertarik kepada seorang pria. Bukan cuman yang diceritain di atas. Kami ini terkadang kelihatan egois dan mata duitan ya bang? Sabar ya bang. Yang lalu biarkanlah berlalu #eh salah fokus. Okay, jadi, banyak juga alasan ketertarikan lain misalnya: karena laki-laki itu sopan dan soleh, punya sesuatu yang beda kayak keterampilan komunikasi yang baik, dan faktor dalam dirinya yang lain. Kalo tentang kemapanan... pola pikir wanita itu beda-beda sih. Ada yang mau berjuang. Ada yang maunya tetep jadi tuan putri kayak di rumah bapaknya. lebih penting dari itu semua ya... keep fighting and praying, tetep berjuang dan hadirkan Allah di setiap kegiatan kita ^^ Sekarang kan udah dapet yang mau berjuang bareng. Alhamdulillah atuh hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masukan yang sangat komprehensif, hehehe.
      Well, sebenernya tidak ada yang salah juga dengan kemapanan secara finansial itu. Bagaimanapun, kebanyakan wanita terbiasa menjalankan fungsi sebagai Menteri Keuangan keluarga. Jadi, gak apa-apa kok kalau dia meminta syarat kemapanan tersebut. Daripada ntar pusying. Ya, kan? Kalau memang mau berjuang bareng, wah, perempuan idaman sekali ya. Semoga pria manapun yang mendapatkannya tidak terlena dengan kondisi demikian. Aamiin.

      Pokoknya, sepakat deh sama Noona. Terima kasih sudah mampir. :D

      Delete
  2. hum... kalo mnrt saya sebagai kaum hawa, sebagian besar memang benar adanya bahwa...

    wanita di level kerja, akan melihat pria dengan kemampunnya secara finansial. itu karena wanita sudah berpikir lebih jauh tentang masa depan yang akan dia jalani. berasumsi pria mapan akan lebih memungkinkan memenuhi kebutuhan ekonomi kelak.

    dan wanita level kuliah akan lebih melihat kemampuan pria dalam kecerdasannya, karena ia tengah menggeluti dunia pendidikan yang lebih tinggi untuk masa depan mendapatkan pekerjaan yang terbaik. di mana sangat sensitif ketika ada pria yang sangat berkompeten di bidangnya.

    sedang wanita level sekolah, cendrung menyukai paras ketimbang lainnya, karena mindset mereka masih jauh tentang masa depan setelah kuliah dan bekerja. lebih tepatny masih bermain hati.

    Tapi...

    itu sebagian loh ya, sebagian lagi para kaum hawa akan lebih memilih lewat perasaan sensitifnya. dan banyak lagi cara pandang wanita saat melihat pria. karena kodratnya setiap kepala memiliki pemikiran yang berbeda, jd gak bisa di sama ratakan karena hanya survey, pengalaman, atau hal semacamnya yang berbau penelitian tentang suatu hal.

    so... keep be yourself,
    karena hanya dengan itu, kita bisa disukai tanpa kepura-puraan dan kebohongan tentang jati diri. tentunya di barengi dengan peningkatan kualitas diri.
    #lohkokjadisokbijak
    hahaha, yasudahlah yah... cuma mau menyampaikan pendapat saya saja, entah bisa di terima atau tidak, setidaknya sudah tersampaikan.
    trima kasih ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lho, justru saya harus berterima kasih atas pendapat ini. Karena posting di atas berasal dari pengalaman laki-laki, komentar dari para perempuan di sini tentu diperlukan sebagai opini penyeimbang.

      Setuju. Tetap jadi diri sendiri. Tetap otentik. Namun, terus berbenah juga penting.

      Terima kasih sudah mampir dan berpendapat, Nidam. :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts