Meningkatkan Produktivitas Kerja





Ada satu hal yang gue pelajari selama tiga bulan ini. Hal itu bermula dari masalah di tempat kerja.

Saat ini, gue menulis untuk Selasar. Selasar adalah portal gagasan pertama di Indonesia yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah media sosial. Di dalamnya, orang-orang menuangkan gagasannya dalam rangka ikhtiar untuk membuat Indonesia yang lebih baik, selain tentunya untuk branding diri sendiri sehingga kepakaran/keahlian mereka terhadap suatu bidang dikenali oleh masyarakat

Di Selasar, gue adalah seorang content writer. Tugas gue adalah menulis artikel-artikel untuk akun Indonesia Kita dan Dunia Kita. Namun, sesekali gue juga menulis dengan akun pribadi di Selasar.
Selasar adalah tempat yang menyenangkan, namun gue punya masalah di sini. Permasalahan gue adalah KPI (key performance index) yang hampir tidak pernah menyentuh angka 100. Pada seminggu awal, okelah. Mungkin karena gue masih adaptasi. Apalagi menjadi content writer adalah sesuatu yang baru buat gue. Dua minggu, tiga minggu, sebulan, KPI gue belum mencapai target juga. Gue mulai panik.

Beberapa orang di kantor mencoba untuk menyelesaikan masalah. Akew berusaha “mengotak-atik” gue biar performance makin kencang. Dari beberapa masukan yang ia berikan, ‘manajemen energi’ adalah yang paling berguna. Manajemen Energi adalah akar permasalahan sekaligus solusi yang ditawarkan oleh Tony Schwartz dan Catherine McCarthy. Harvard Business pernah mengangkat artikel tulisan mereka. Surprisingly, tulisan keduanya juga ada di JSTOR, jurnal ilmiah yang lazim dikunjungi oleh anak-anak rumpun sosial-humaniora.

Inti dari manajemen energi adalah ‘ritual-ritual’ yang membantu seseorang mengembalikan energinya sehingga ia dapat optimal di tempat kerja. Bahwasanya, bekerja keras ala orang Jepang dan Jerman yang melebihi delapan jam justru malah tidak efektif dan membuat lingkungan kerja tidak sehat. Akibatnya, banyak orang mudah terkena sakit dan memiliki fokus yang kurang baik. Nah, manajemen energi membantu kita untuk menjalankan keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi (work-life balance) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas.

Manajemen energi itu bagus. Gue, yang biasanya ambruk pada tanggal 20 ke atas bulan pertama di tempat kerja baru, menjadi jauh lebih tangguh sekarang.

Sayangnya, itu tidak benar-benar menyelesaikan masalah gue.

Teman gue Henov (iya, yang nyanyi lagu Tuhan Maha Romantis pakai nama panggung Nov itu. Yailah pake promosi.) pun turut memberikan masukan. Masukannya lebih bersifat teknis dan aplikatif. Menurut Henov, gue perlu membenahi dua hal. Distraksi dan Metode kerja. Dia lalu memberikan serangkaian metode kerja yang entah kenapa gue males aja nulisnya di sini.

Sayangnya, itu juga tidak benar-benar menyelesaikan masalah gue.

Well, sebenarnya, berbagai solusi yang kedua orang ini berikan dalam mendongkrak performa kerja secara teori sudah membantu. Gue sendiri meyakininya. Tapi, kok, performa kerja gue ya masih begini-begini aja. Ibaratnya, performa kerja gue ini kayak jomblo gak nikah-nikah. Stagnan, hidupnya.

Jangan tersinggung, Bro. Gue juga jomblo. Tos dulu ah biar nggak slek.

Gue terus kepikiran tentang hal ini, bahkan ketika sedang menikmati hari libur. Gue coba membedah lebih dalam, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Fian,apakah lu menikmati pekerjaan ini? Kalo iya, apakah lu menikmati atau benar-benar menikmati? Apakah lu terlalu menikmati sampai akhirnya lupa target harian yang harus diselesaikan?

Gue terus mengelaborasi pertanyaan demi pertanyaan hingga sampai pada satu kesimpulan.

***



Pada suatu pagi, gue membaca buku. Judulnya, Sadar Penuh Hadir Utuh. Buku ini bertemakan mindfulness yang, menurut gue, merupakan bagian penting dari gaya hidup sehat. Pada salah satu halaman awalnya, Adjie Silarus berkata yang kira-kira begini,


“Saat menciptakan sesuatu, kita menghentikan proses mencipta dan asyik dengan berkomunikasi melalui e-mail atau bermain twitter, kemudian kembali melakukan proses mencipta. Aktivitas itu membuat kita kehilangan waktu untuk berpikir kreatif. Fokus kita akan berkurang, meskipun sedikit.”


Pada titik yang mengakhiri kalimat itu, gue berhenti membaca. Gue menyadari, kita hidup di era banyak distraksi. Terlalu banyak, malah. Punya rekan kerja sableng yang kentutnya lebih senyap namun bikin gegar otak aja lebih dari cukup untuk membuat distraksi yang powerful, apalagi dengan kehadiran ponsel yang notifnya bunyi nggak kelar-kelar?

Pada dasarnya, kita tidak benar-benar bisa melakukan banyak hal sekaligus alias multitasking. Yang sebenarnya terjadi adalah pikiran kita berpindah dari satu hal ke hal lainnya dengan begitu cepat sehingga terkesan mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus. Ini adalah dua hal yang berbeda. Ini adalah kelemahan terbesar gue yang bikin editor Selasar suka ‘ngomel’ ke gue, hahaha.

Sejujurnya, selain distraksi ponsel, ada beberapa hal besar yang membebani pikiran selama tiga bulan ini. Mau tidak mau, keduanya seringkali terseret saat sedang bekerja. Kedua hal ini secara tidak langsung juga mengganggu produktivitas kerja dan baru berakhir ketika gue kembali fokus.

Berarti, solusinya adalah cara untuk kembali fokus.

Mau seberapa banyak distraksinya, asal gue bisa kembali fokus, nggak akan jadi masalah. Permasalahannya adalah kesadaran bahwa gue sedang dalam kondisi tidak fokus.

Untuk menyelesaikan masalah itu, gue butuh latihan yang intensitasnya tinggi dan dilakukan setiap hari.

Rupanya, latihan itu ada dalam rutinitas yang selama ini gue lakukan.

Salat.
Salat fardhu.
…yang khusyuk.

Salat harusnya bukan sekedar rutinitas. Salat seharusnya benar-benar jadi ritual yang dilakukan dengan tenang (tanpa mikirin kerjaan) dan tepat waktu. Kedua hal ini perlu kembali ditegakkan dalam salat gue.

Ketika salat, waktu benar-benar perlu dilupakan. Bacaan-bacaan seharusnya dilafalkan dengan makharijul huruf dan tajwid yang benar. Perlahan. Jelas. Bukan sekedar cepat.

Gerakannya juga dilakukan perlahan-lahan, seakan-akan kita baru belajar salat. Gue perlu merasakan nikmatnya otot pangkal paha yang meregang ketika rukuk. Gue perlu mengaktifkan sistem saraf reseptor di kedua telapak tangan ketika sujud, merasakan permukaan beludru yang lembut dari sajadah hijau itu. Gue juga perlu merasakan nikmat dan rileksnya susunan saraf di tengkuk dan tulang belakang saat bersujud. Terakhir, gue perlu lebih menikmati dzikrullah setelah salat.

Bila dijalankan dengan sepenuh pikiran (mindful), salat yang khusyuk harusnya bisa dilakukan. Meskipun kelihatannya nggak nyambung, salat yang khusyuk seharusnya bisa jadi solusi untuk produktivitas gue di tempat kerja.

Kita lihat bagaimana hipotesis gue akan berjalan seminggu ke depan....


Comments

Popular Posts